29 Februari 2008

Membangun Daerah Bukan Dengan Bunga SBI



Pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan dana Pemerintah Daerah yang mengendap pada Bank Indonesia mencapai Rp 96 Trilyun dan sebagian besar di parkir di Bank Pembangunan Daerah seluruh Indonesia. Jumlah dana tersebut cukup fantastis tentunya. Betapa tidak dengan dana sebesar itu Infrastruktur Umum berupa Jalan sebagai penopang perekonomian sampai tingkat pedesaan, Bangunan Sekolah dari tingkat dasar sampai Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat, Pelayanan Kesehatan samapi Pukesmas di daerah terpencil, bantuan dana pendidikan bagi siswa berprestasi dan kurang mampu termasuk subsidi kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, maupun Infrastruktur Pemerintah sampai dengan Biaya Pejabat Daerah termasuk honor dan tunjangan yang seabrek-abrek, PNS sampai dengan tukang sapu di puluhan Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia bisa tercukupi dalam 1 tahun anggaran, dengan jumlah itu pula Bank Pembangunan Daerah seharusnya bisa menyalurkan kredit bagi Jutaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk meningkatkan gairah perekonomian sehingga bisa menyerap tenaga kerja dari yang trampil sampai terdidik.

Tetapi realitasnya tidak demikian baik Pemerintah Daerah selaku pemilik Dana dan Bank Pembangunan daerah selaku pihak yang dititipi dana justru malah mengambiluntung layaknya pialang saham di Bursa Efek Jakarta yang melakukan Profit Taking atas situasi tertentu, Bisa dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi Pemerintah Daerah sebagai pemilik dana yang sebagian besar berupa hasil transfer dari pemerintah pusat baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU) , Dana Perimbangan maupun Dana Bagi Hasil, tidak mampu memanfaatkan dana tersebut untuk mempercepat pembangunan maupun pergerakan perekonomian daerah, disamping adanya rasa ketakutan pejabat menggunakan dana tersebut dan dari sisi lain Bank Pembangunan Daerah yang mendapat kue empuk berupa giro murah pemerintah daerah yang menghasilkan keuntungan dengan menyimpan ke sertifikat Bank Indonesia daripada melempar dana keluar untuk membangun perekonomian daerahnya.

Otonomi Daerah sebenarnya memiliki visi yang mulia dengan tujuan ekonomi sistem keuangan pusat daerah adalah pertama, terciptanya stabilisasi makro ekonomi dan kedua, tercapainya efisiensi kinerja perekonomian karena dengan otonomi diharapkan pembangunan daerah akan lebih cepat dan ekonomis karena dilakukan oleh sumber daya manusia (human resources) dari daerah itu sendiri yang seharusnya lebih tahu apa yang dibutuhkan di daerah tersebut.

Namun fakta dilapangan menunjukkan banyak Pemerintah Daerah yang gamang dalam menjalankan fungsinya, berbagai kewenangan yang diberikan pemerintah pusat beserta sumber dana segar tidak mampu dimanfatkan secara optimal untuk kemajuan daerah yang bersangkutan padahal asas umum pengelolaan keuangan daerah sesuai Undang- Undang No 17 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 tahun 2006 tentang pengelolaan Keuangan Daerah adalah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masayarakat dimana APBD memiliki fungsi stabilisasi menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah melalui 25 klasifikasi urusan wajib diantaranya pendidikan, kesehatan, perencanaan pembangunan, perindustrian, penanaman modal dan lain-lain, sehingga sangat disayangkan apabila dana sebesar itu tidak dimanfaatkan secara optimal, apalagi dilihat bahwa jumlah dana yang mengendap bukan hanya dari dana tahun berjalan, tetapi banyak yang merupakan penerimaan dana dari pusat di tahun-tahun sebelumnya, artinya dana itu dari tahun ketahun banyak yang tidak dioptimalkan.

Sedangkan Bank Pembangunan Daerah selaku penyimpan dana terbesar yang memiliki fungsi mediator dan channeling dana antara pemerintah daerah dan rakyat di berbagai sektor perekonomian daerah yang bersangkutan tidak mampu atau cenderung malas menciptakan situasi produktif melalui skim-skim kredit produktif baik melalui kredit investasi ataupun kredit modal kerja, dikarenakan lebih menguntungkan apabila ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia, bagaimana tidak? saat ini Suku Bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) adalah 9,25% efektif p/a sedangkan bunga rata rata deposito adalah 6,25% efektif p/a, bunga rata- rata tabungan antara 3-4% efektif p/a dan bunga rata-rata untuk giro 2-3% efektif p/a belum di potong pajak 15 %, sedangkan dana pemerintaha daerah yang mengendap di Bank Pembangunan Daerah hampir seluruhnya berupa giro, jadi keuntungan berlimpah yang diperoleh Bank Pembangunan Daerah lebih dari 6% efektif p/a, anda bisa menghitung sendiri berapa, cara gampangnya adalah anda mempunyai deposito sebesar Rp 1 Juta dengan bunga deposito adalah 6,25% efektif p/a, berapa yang anda terima dalam 1 bulan, sekarang bayangkan jumlah depositio anda adalah sebesar dana Pemerintah Daerah yang mengendap yaitu Rp 92 Trilyun, berapa bunga yang anda dapat.? Itu sebesar yang diperoleh Bank Pembangunan Daerah atas penempatan dana giro Pemerintah Daerah di Bank Indonesia. Untuk diketahui setiap Pemerintah Daerah baik Provinsi, Kota dan kabupaten setiap akhir Tahun menutup Kasnya sebagai Sisa Lebih Anggaran yang notabene diantaranya adalah giro Pemerintah Daerah baik Provinsi, Kota dan Kabupaten dan akan dibelanjakan setelah adanya Pengesahan APBD biasanya 2- 3 Bulan setelah awal bulan, kecuali urusan terttentu mengenai Pengeluaran rutin gaji, kesehatan dan pendidikan, artinya waktu pengendapan rata-rata adalah 2-3 bulan, sehingga keuntungan gurih Bank BPD adalah margin interst selama 2-3 bulan, alangkah enaknya, karena apabila target laba terpenuhi Direksi dan seluruh karyawan akan menerima jasa produksi, tantiem dan intensif penghasilan yang membuat mereka tidak perlu khawatir kehabisan minyak tanah sehingga perlu konversi ke elpiji dan kenaikan harga pokok.

Perlu diketahui setiap tahun, daerah mendapat dana transfer baik itu dana perimbangan maupun dana bagi hasil dari pemerintah pusat yang besarnya puluhan kali lipat dari bunga yang diterima dari penempatan dana di Bank dan Fungsi Pemerintah daerah bukan sebagai Organisasi berorientasi profit dengan mengharapkan bunga, melainkan sebagai penyelenggara pemerintahan yang bersifat melayani, dan mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki termasuk sumber daya keuangan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga BUNGA BANK termasuk dari SBI hanya salah satu bagian kecil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Fakta menunjukkan bahwa kinerja keuangan hampir seluruh Bank Pembangunan Daerah masih lemah, dimana ketergantungan dana Pemerintah Daerah sangat kuat yang notabene merupakan giro yang sangat likuid, artinya apabila terdapat penarikan yang besar oleh pemerintah daerah, maka Bank Pembangunan Daerah menjadi ilikuid atau tidak mempunyai sisa dana yang cukup untuk menjalankan fungsinya, apalagi sisi giro sebagai dana pihak ketiga di Bank Pembangunan Daerah mencapai mencapai rata-rata 55%- 90% dari simpanan pihak ketiga, bandingkan dengan tabungan yang hanya 20 % -35% dari simpanan pihak ketiga atau deposito antara 10-20% dari simpanan pihak ketiga.

Artinya Bank Pembangunan Daerah masih disusui oleh induknya, sangat ironis apabila dibandingkan dengan kinerja beberapa Bank Pembangunan Daerah yang digembar-gemborkan memperoleh predikat sangat baik oleh salah satu Majalah Perbankan Nasional, apalagi jika dibandingkan dengan rasio kredit yang diberikan dibanding dana pihak ketiga/Loan to Deposit Ratio (LDR) rata-rata hanya mencapai 25%-75% alias kinerja sebagian besar Bank Pembangunan Daerah sebagai penyalur kredit sangat rendah, padahal menurut Bank Indonesia LDR yang baik berkisar 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa Bank Pembangunan Daerah tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, padahal sesuai UU Perbankan N0 7 Tahun 1992 menyebutkan salah satu fungsi Bank adalah menghimpun dana dan menyalurkan ke dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, apalagi kalau ditelaah lebih dalam, dari jumlah kredit yang diberikan sebagian besar merupakan kredit konsumtif yang notabene kredit PNS yang pembayarannya melalui potong gaji yang lewat Bank Pembangunan Daerah alias bukan Kredit Produktif berupa Kredit Investasi atau Kredit Modal Kerja, hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat Bank-Bank pesaing yang notabene memiliki Sumber Daya lebih baik manusia, teknologi dan finansial yang jauh lebih besar dan menawarkan berbagai pelayanan perbankan dengan teknologi tinggi seperti SMS Banking, Internet Banking, kemudahan bertransaksi berbagai macam kebutuhan dari HP, PLN, Telepon sampai kartu kredit berbondong-bondong memasuki wilayah yang selama ini menjadi target bisnis Bank Pembangunan Daerah, apabila tidak segera berbenahBank Pembangunan Daerah akan tersingkir dari daerahnya sendiri karena terjepit oleh Bank-Bank Raksasa ataupun Bank Swasta yang lebih memiki mental bertarung yang kuat karena tidak menikmati dana murah dari Pemerintah. Oleh karena itu pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, harus disikapi dengan bijak oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah se Jawa Timur dan PT. Bank Jatim dan ada kemauan kuat untuk memperbaiki kinerjanya dan bukan mencari pembenar atas ketidakmampuan dalam mengoptimalkan dana yang diterimanya dan mengambil keuntungan dari penempatan dana ke Bank Indonesia


22 Februari 2008

Bidadariku


Tuhan.. aku bersimpuh, bersujud mengucap syukur kepadamu, dimana aku sempat sedikit mempertanyakan keadilanmu.. justru Engkau memberikan anugerah yang terindah, seorang bidadari kecil cantik yang kuberi nama "Azka Raddin Savitri" yang lahir Hari Jum'at 15 Pebruari 2008 Pukul 11.15 di RS Melati Husada Malang berat 3,2 kg dan panjang 51cm..
Apalagi yang harus ku katakan selain mengucap syukur dan berdoa agar Engkaupun turut menjaga bidadari yang Engkau titipkan kepadaku