15 November 2008

Mengenal HP & Memblok HP yang Hilang


Kehilangan HP seperti saya emang menyebalkan, btw sebelum terlanjur kehilangan, coba tricky berikut:
Setiap HP memiliki 15 digit serial number yang unique (IMEI), artinya : tidak mungkin sama dengan HP lainya. Untuk mencatat nomor ini, pencet di HP anda. Pertama tekan : * # 0 6 # Lalu tekan : tanda panah (arrow) / ok Selanjutnya : Pada layar akan tampil 15 digit kode. Catat nomor ini dan simpan di tempat yang aman. Jangan simpan di dompet,lebih baik ditinggalkan di rumah atau kantor yang kira2 menurut anda aman...
Apabila HP anda dicuri, hubungi operator kartu SIM anda dan beritahukan kode ini. Mereka akan dapat melakukan blocking sehingga HP tersebut tidak dapat digunakan sama sekali walaupun ditukar kartunya karena yang di block adalah HP nya dan bukan nomor panggilan HP Kemungkinan besar memang HP anda tidak akan kembali lagi....Namun paling tidak orang jahat juga sama sekali tidak bisa menggunakannya (biar nggak keenakan). Sehingga kalau semua (atau sebagian besar) HP - HP yang dicuri tidak bisa berfungsi, maka dipasar gelap harganya akan jatuh,dan diharapkan trend pencurian HP sudah nggak mode lagi...^^ selain itu coba kenali HP anda:
Kode Akses Nokia
*#30# : Menampilkan ‘private number’ yang menghubungi anda.
*#73# : Mereset timer ponsel dan skor game (pada beberapa ponsel).
*#7780# : Mengembalikan ke setting pabrik (factory setting).
*#2820# : Alamat IP perangkat Bluetooth (untuk ponsel yang mempunyai Bluetooth).
xx# : Akses cepat ke nama/nomer telepon di phone book ponsel, misalnya 20#.
Tombol off : Menekan dengan singkat, untuk berpindah antar profile.
*3370# : Mengaktifkan EFR(Enhanced Full Rate) Codec (tidak berlaku di ponsel Symbian).
#3370# : Menonaktifkan EFR Codec.
*#4270# : Mengaktifkan Half Rate Codec.
*#4270# : Menonaktifkan Half Rate Codec.
*#0000# : Menampilkan versi software ponsel.
*#9999# : Kode alternatif jika *#0000# tidak bekerja.
*#06# : Melihat nomor IMEI (Internasional Mobile Equipment Identity).
*#21# : Mengecek nomor pengalihan “All Call” yang digunakan.
*#2640# : Menampilkan kode keamanan ponsel yang digunakan.
*#43# : Mengecek status “Call Waiting”.
*#61# : Untuk mengecek nomor pemanggil yang dialihkan ketika tak anda jawab.
*#62# : Mengecek nomor pemanggil yang dialihkan ketika ponsel anda di luar jangkauan.
*#67# : Mengecek nomor pemanggil yang dialihkan ketika ponsel anda sedang sibuk.
**21*number# : Menghidupkan pengalihan “All Call” pada nomor yang diisi.
**61*number# : Menghidupkan pengalihan “No Reply” pada nomor yang diisi.
**67*number# : Menghidupkan pengalihan “On Bussy” pada nomor yang diisi.
*#67705646# : Mengganti logo operator logo pada Nokia 3310 dan 3330.
*#746025625# : Menampilkan status SIM Clock.
*#7760# : Menampilkan kode pabrikan (sebagian besar ponsel tipe lama).
*#92702689# : Memunculkan : 1. Serial Number, 2. Date Made, 3. Purchase Date, 4. Date of last repair, 5.Transfer user data. Keluar dari mode ini harus merestart ponsel ( pada beberapa ponsel )

11 November 2008

Keluarga dan Refreshing


Baru hari Minggu kemaren, aq balik dari Surabaya tapi rasanya udah pengen mudik lagi, memang rumah & keluarga adalah kombinasi dari surga dunia, senyum istri dan keceriaan anak memberi "nuisance" tersendiri untuk selalu pulang..
Apalagi anakku sudah mulai belajar berdiri dan senang berenang, saat-saat itulah aku merasa bersyukur memiliki keluarga yang luar biasa..
Sayang kemauan untuk belajar agar kuliah ini segera selesai belum juga mampu aku lakukan.. entah karena kemalasanku, belum biasanya mendapat materi yang sedikit "asing", atau memang otakku mulai telmi. btw doa istri dan semangat untuk segera berkumpul dengan keluarga membuat aku harus yakin..

Dampak Subprime Mortgage bagi Perekonomian Indonesia


Kronologis Krisis Subrime Mortgage
Rendahnya suku bunga di AS dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2004, melonggarnya ketentuan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan persaingan antara lembaga penyalur kredit, telah meningkatkan penyaluran KPR ke masyarakat dengan creditworthiness yang rendah (subprime borrower). Penyaluran KPR untuk nasabah subprime yang pada tahun 2002 hanya mencapai $213 miliar, meningkat menjadi $665 miliar pada tahun 2005. Di pihak lain, sekuritisasi dengan agunan berbasis KPR subprime terus meningkat melalui financial engineering yang dikemas dalam bentuk Asset Backed Securities (ABS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO).
Besarnya potensi keuntungan yang diraih dari sekuritisasi subprime mortgage mendorong beberapa lembaga keuangan besar masuk bisnis ini termasuk Bear & Sterns, HSBC, dan Citigroup. Kemasan produk CDO menjadi semakin menarik karena memperoleh rating yang tinggi dari lembaga pemeringkat termasuk Standard and Poor's dan Moody's. Imbal hasil yang tinggi juga menarik minat investor dari banyak negara untuk membeli CDO tersebut. Selama tahun 2003-2007 penerbitan ABS dan CDO yang beragunan subprime mortgage meningkat tajam sehingga pada tahun 2006 mencapai lebih dari $450 miliar.
Mengapa bisnis yang terkait subprime mortgage cepat berkembang menjadi krisis global? Sebagian besar dari KPR menggunakan Adjustable Rate Mortgage (ARM) yang suku bunganya tetap pada beberapa tahun pertama dan selanjutnya menyesuaikan dengan suku bunga pasar. Dengan risiko kredit nasabah subprime yang cukup tinggi maka suku bunga yang dibebankan adalah ARM ditambah margin tertentu.
Sejalan dengan tren suku bunga yang meningkat sejak pertengahan tahun 2004, beban pembayaran angsuran nasabah subprime menjadi semakin berat. Hal itu menyebabkan mereka tidak lagi mampu membayar sehingga menimbulkan kredit macet yang terus meningkat. Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar. Pada pertengahan tahun 2007, akumulasi permasalahan kredit macet sektor perumahan di AS memuncak dan akhirnya menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Kredit macet yang meningkat tinggi menyebabkan investor menilai ulang investasinya di CDO karena semakin menurunnya nilai agunan dari surat berharga tersebut. Harga CDO pun merosot tajam. Sementara itu, rentetan kerugian yang dialami lembaga penyalur KPR mengakibatkan harga sahamnya juga berjatuhan di bursa saham AS yang merembet ke seluruh saham di sektor keuangan terutama perbankan.
Kejatuhan harga saham di AS pada gilirannya berimbas dalam skala global terutama harga saham lembaga keuangan di luar AS yang memiliki eksposur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terhadap CDO. Investor global yang menyadari memiliki eksposur terhadap CDO juga serentak menilai ulang risiko investasinya (repricing of risk). Akibatnya, terjadi pengalihan dana besar-besaran dari aset keuangan yang dipandang berisiko ke aset yang relatif aman seperti obligasi pemerintah AS (flight to quality).
Krisis kepercayaan terhadap CDO meluas sehingga menyebabkan lembaga keuangan penyalur KPR dan perusahaan penerbit commercial paper yang beragunan aset atau 'Asset Backed Commercial Paper' (ABCP) semakin sulit memperoleh dana di pasar kredit. Hal tersebut terjadi karena investor banyak yang menolak memperpanjang penempatan dana di ABCP. Sektor perbankan sebagai penjamin ABCP harus mengambil alih pemenuhan dana dari penyalur KPR yang pada gilirannya membebani neraca bank. Perkembangan tersebut menyebabkan ketatnya pasar uang antarbank khususnya yang bertenor 3 bulan. Langkah Federal Reserve menurunkan suku bunga pada Agustus 2007 dan injeksi likuiditas melalui koordinasi dengan sejumlah bank sentral lain dalam jumlah besar hanya mampu meredam gejolak pasar keuangan sesaat.
Kejatuhan harga rumah yang terus berlanjut, ketidakstabilan di pasar keuangan, dan ketatnya standar penyaluran KPR pada gilirannya menekan konsumsi masyarakat AS. Selain itu, sektor manufaktur juga mulai terkena imbas dari melemahnya konsumsi sehingga mendorong gelombang pemutusan hubungan kerja. Di pihak lain, sejumlah lembaga keuangan termasuk bank-bank investasi AS terkemuka melaporkan kerugian yang cukup besar dari bisnis CDO dan sampai akhir tahun 2007 total kerugiannya melampaui $100 miliar. Menjelang akhir tahun 2007 ekonomi AS pun semakin dibayangi resesi sehingga tekanan di pasar keuangan global terus berlanjut.
Bergejolaknya pasar keuangan global akibat efek lanjutan krisis subprime mortgage menyebabkan investor global serentak melakukan penilaian ulang terhadap profil risiko investasinya. Penarikan dana dari investasi di pasar keuangan negara berkembang yang dipandang berisiko pun meningkat sehingga menimbulkan tekanan terhadap mata uang di sebagian besar negara tersebut. Selain itu, penarikan dana investor global tersebut merupakan upaya untuk menutup kerugian dari investasinya di pasar keuangan negara maju yang jatuh tajam.
Krisis tersebut berkembang menjadi krisis global, bahkan ada ketakutan akan terulang resesi tahun 1929 (great depression), sehingga Pemerintah Amerika Serikat menyuntik dana penyelamatan (bail out) sebesar US$700 Milyar pada awal Oktober 2008, sedangkan di Eropa Negara-Negara Maju segera berbenah, Inggris menjamin semua simpanan di Bank yang kemudian diikuti Jerman mengingat besarnya dampak krisis yang ditimbulkan oleh subprime mortage.
Di Amerika Serikat sendiri perusahaan-perusahaan besar bertumbangan, CEO Lehman Brothers Inc. Richard Fuld yang selama ini hidup mewah, harus menelan kepahitan dalam sekejap, 3 juta sahamnya yang sekitar 9 bulan lalu bernilai US$16,8 Juta hanya dihargai US$500 ribu yang akhirnya colap, Bear Stearns Inc. rugi US$19,8 Juta, Merrill Lynch Inc. rugi US$52 Juta, Morgan Stanley Inc. rugi US$11 Juta dan AIG rugi sebesar US$80 Juta yang akhirnya bangkrut. Turbulensi sektor financial juga mengambrukkan korporasi keuangan kelas dunia di Eropa seperti Northern Rock, Fortis, Bradford and Bingley, HBOS dan Bank Hypo Real, selain itu hamper semua indeks saham dunia jatuh berguguran dan likuiditas dunia mengering.
Langkah Indonesia dalam menghadapi Krisis
Lembaga keuangan di Indonesia teridentifikasi tidak memiliki eksposur terhadap surat berharga beragunan subprime mortgage. Meskipun demikian, gejolak pasar keuangan global yang dipicu krisis subprime mortgage telah meningkatkan volatilitas dan ketidakpastian sehingga mendorong arus keluar dana asing dari instrumen investasi rupiah. Dalam kondisi pasar keuangan global yang bergejolak investor cenderung menyelamatkan dananya dengan menghindari instrumen investasi berisiko (risk aversion), termasuk instrumen yang diterbitkan emerging markets seperti Indonesia.
Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, risk appetite investor global terhadap aset emerging markets menurun seperti tercermin dari meningkatnya spread EMBIG (Emerging Market Bond Index Global) terhadap US Treasury Bond. Perkembangan risk appetite tersebut juga berkorelasi kuat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Hal tersebut tercermin pada melebarnya spread EMBIG yang diikuti dengan tekanan depresiasi terhadap rupiah.
Arus keluar dana asing mengalami eskalasi sejak Juni 2007 dan berlanjut hingga Agustus 2007, yang menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Penarikan dana investasi asing dari pasarkeuangan Indonesia sebagian berasal dari SBI dan obligasi negara. Meskipun demikian, investasi asing di bursa saham masih terus masuk. Setelah itu arus dana keluar mereda, bahkan kembali masuk dalam jumlah besar setelah The Fed menurunkan Fed Fund Rate sebesar 50 basis poin pada 18 September 2007.
Krisis subprime mortgage ternyata lebih dalam dan luas dari yang diperkirakan semula. Pada November 2007 pasar keuangan kembali bergejolak karena krisis sektor perumahan yang berkembang menjadi krisis likuiditas dan kredit semakin mendorong perekonomian AS ke arah resesi dan disertai dengan terjadinya rangkaian kerugian sejumlah lembaga keuangan besar. Bersamaan dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia mendekati $100 per barel, perkembangan tersebut kembali mendorong arus keluar dana asing.
Berbagai indikator ini menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan beberapa hari terakhir. Rupiah terus melemah melebihi 300 poin dan ditutup pada angka Rp9.560 per dollar AS, setelah pada perdagangan pada 7 Oktober 2008 sempat diperjualbelikan pada kisaran Rp9.700 per dollar AS bajkan sempat menyentuh Rp11.000 per USD. Demikian juga, bursa saham domestik terus melemah dan jatuh lebih dari 40 persen dalam beberapa minggu terakhir. Pelemahan ini adalah yang terburuk dalam skala global, bahkan bila dibandingkan kejatuhan bursa saham di episentrum krisis global kali ini (AS).
Kenaikan yield obligasi negara dalam satu bulan pun (5 September - 6 Oktober 2008) mencapai di atas 50 basis poin untuk semua jenis obligasi. Pada saat yang sama, yield curve terus bergerak naik, yang menandakan adanya peningkatan premi resiko untuk jangka lebih panjang dan sentimen pasar yang memburuk. Konsekuensi dari hal ini adalah semakin tergerusnya nilai aset lembaga keuangan. Sebab yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Sehingga kenaikan yield menyebabkan turunnya nilai obligasi, dus aset lembaga keuangan.
Terlepas dari beberapa indikator tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia mengatakan bahwa sistem keuangan nasional adalah cukup kuat. Dua hal yang kerap disebut-sebut sebagai indikator ketahanan sistem keuangan ini adalah nilai cadangan devisa dan rasio kredit terhadap PDB. Cadangan devisa saat ini memang telah mencapai sekitar 58 milyar dollar (13.5 persen terhadap PDB), yang berarti lebih dari 3 bulan impor. Angka ini jauh lebih dari saat krisis 1997/98 diamana cadangan devisa berkisar 10 milyar dollar (6 persen PDB). Demikian pula, dari kriteria tradisional, angka ini memang dapat dikatakan aman. Akan tetapi benarkah demikian?
Dalam kajian mutakhir, ukuran tradisional 3 bulan impor tidak lagi bisa dijadikan patokan ketahanan sistem keuangan. Alasannya, dalam satu krisis pergerakan kurs dan pelarian modal akan sangat cepat dan menyebabkan tergerusnya nilai riil dari cadangan devisa secara instan. Untuk Indonesia, hal ini juga ditambah lagi dengan fakta bahwa separuh dari cadangan devisa Indonesia didenominasikan dalam aset berdenominasi dollar AS, seperti US treasury bond yang nilainya saat ini terus tertekan. Begitu juga, secara relatif, nilai cadangan devisa nasional sesungguhnya tidak terlalu mengesankan dibandingkan dengan negara-negara lain. Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan cadangan devisa nasional adalah aman.
Hal ini ditambah pula dengan peningkatan drastis jumlah hutang, baik pemerintah maupun swasta, dalam beberapa tahun terakhir. Nilai obligasi swasta bukan jasa keuangan dalam US dollar tercatat meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan nilai yang ada pada krisis 1997/98, demikian pula pinjaman dalam mata uang asing oleh lembaga swasta non jasa keuangan yang tumbuh hampir sama cepat dengan peningkatan kredit dalam rupiah.
Posisi Kredit Perbankan Nasional, LDR rupiah sudah mencapai 70 persen (Per Agustus 2008), sehingga ceteris paribus LDR riil bisa mencapai angka 90 persen. Padahal ini belum termasuk pinjaman yang dilakukan oleh lembaga bank (dan pemerintah!) dalam mata uang asing. Bila jumlah ini ditambahkan maka LDR sesungguhnya sudah menunjukkan lampur merah dengan rasio melebihi 100 persen. Dengan latar belakang ini bisa dibayangkan bila kemudian terjadi pelarian modal. Krisis likuiditasnya agaknya di depan sudah ada di depan mata.
Isu lain yang menarik dan luput selama ini adalah isu tentang coupling or decoupling antara pasar uang dan pasar barang. Pertanyaan besarnya adalah apakah krisis yang kini tengah melanda pasar uang akan berpengaruh secara nyata pada variabel-variabel riil seperti PDB, Investasi dan konsumsi rumah tangga, termasuk juga tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa ada sedikit keterpisahan (decoupling) antara kedua pasar ini di Indonesia. Segala hiruk pikuk yang terjadi di pasar uang seringkali tidak berdampak secara signifikan terhadap dinamika di sektor riil, terutama pada variabel pengangguran dan kemiskinan.
Akan tetapi, volatilitas dan fluktuasi di pasar uang yang tinggi akan lebih cepat mempengaruhi sektor riil. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter 1997/98. Suku bunga dan depresiasi Rupiah yang meroket menyebabkan terganggunya arus dana ke pasar barang. Dan sektor yang agaknya akan paling tertekan bila terjadi kemacetan lalu lintas dana adalah sektor manufaktur, diikuti tambang , jasa dan pertanian. Semua sektor ini adalah sektor pendorong pertumbuhan dan penyerap tenaga kerja terbanyak. Sehingga terganggunya sektor keuangan secara langsung akan turut memukul pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja dan pemberantasan kemiskinan.
Walaupun tidak secara langsung menghantam Indonesia, krisis yang beralwal dari subprime mortage di Amerika serikat tersebut berimbas cukup tajam di Indonesia, oleh karena itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono segera memberi arahan:
1. Semua Pihak terus memupuk rasa optimism dan saling bekerjasama, sehingga bisa tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
2. Pertumbuhan ekonomi 6% harus dipertahankan, antara lain dengan terus mencari peluang ekspor, investasi serta mengembangkan perekonomian domestic.
3. Optimalisasi APBN untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan social safety nett dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan, yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik, pangan dan BBM antara lain dengan terus mencari peluang ekspor investasi serta mengembangkan perekonomian domestic.
4. Kalangan dunia usaha harus tetap mendorong sektor riil.
5. Semua pihak agar lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis,antara lain dengan mengembangkan pasar dinegara-negara kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan Amerika Serikat.
6. Menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestikbertambah kuat.
7. Penguatan kerjasama lintas sektor antara Pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta.
8. Hindari sikap egosentris dan memandang remeh masalah.
9. Semua kalangan harus memiliki pandangan politik non partisan serta mengedepankan kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan maupun pribadi, termasuk dalam kebijakan politik.
10. Semua pihak harus melakukan komunikasi yang tepat dan baik kepada masyarakat.
Kemudian secara konkrit, Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk menangani krisis, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua undang-Undang No 23 Tentang bank Indonesia yang secara substansi berisi pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia diperkenankan apabila terjadi kesulitan keuangan suatu bank yang secara sistemik mempengaruhi krisis keuangan di Indonesia.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang No 24 Tahun 1999 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang secara substansi berisi tentang perubahan besaran penjaminan apabila terjadi penarikan besar-besran, inflasi terus menerus atau ancaman krisis
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berisi stabilitas keuangan dari ancaman krisis melalui Fasilitas Pembiayaan Darurat dan pembentukan Komite Stabilitas Keuangan.
(Sumber Bank Indonesia, INDEF dan Bursa Efek Indonesia)

10 November 2008

PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH


A. Pendahuluan
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan.
Simon Kuznets menyatakan bahwa “a country’s economic growth as a long-term rise in capacity to supply increasingly diverse economic goods to its population, this growing capacity based on advancing technology and the institutional and ideological adjustments that it demands” (Todaro, 2000,155). Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh akumulasi modal (investasi pada tanah, peralatan, prasarana dan sarana dan sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human resources) baik jumlah maupun tingkat kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri serta budaya kerja (Todaro, 2000, 37).
Selama ini, pemerintah telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terlihat ketimpangan yang cukup besar antar daerah, baik antara Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur, Pulau Jawa dengan wilayah lainnya dan juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Ini terbukti dari ketimpangan nilai investasi dan produksi di masing – masing wilayah. Lebih dari 50 % investasi berada di Jawa yang hanya mencakup 7 % total wilayah Indonesia. Sedangkan output atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pulau Jawa menghasilkan lebih dari 60 % total output Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi pembangunan di Pulau Jawa jauh lebih kuat dari pada wilayah lainnya.
Ketertinggalan suatu daerah dalam membangun dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah rendahnya daya tarik suatu daerah yang menyebabkan tingkat aktivitas ekonomi yang rendah. Suatu daerah yang tidak memiliki sumber daya (baik manusia maupun alam) serta kurangnya insentif yang ditawarkan (prasarana infrastruktur, perangkat keras dan lunak, keamanan dan sebagainya) dapat menyebabkan suatu daerah tertinggal dalam pembangunan (Azis, 1994, 65). Untuk mengejar ketinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social-overhead seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya. Pilihan ditentukan oleh kondisi dan ciri daerah serta masalah institusionalnya (Azis, 1994, 66).
Dalam era otonomi daerah, dituntut peranan pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat daerahnya dengan penyediaan public services (pelayanan public) yang sangat dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good government menuju good governance (local governance), akan melibatkan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam kegiatan/urusan urusan pemerintahan. Dalam good governance harus ada keseimbangan antara publik, privat dan sosial/masyarakat. Dengan demikian desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga penyerahan wewenang kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994). Berkiatan dengan ini, bagaimana posisi pemerintah daerah dalam penyediaan public services yang melibatkan partisipasi privat dan masyarakat.
Desentralisasi melahirkan local government. Konsep local government dapat mengandung tiga arti: Pertama, penggunaan istilah local government sering kali saling dipertukarkan dengan istilah local authority. Namun kedua istilah tersebut mengacu pada council (DPRD) dan major (Kepala Daerah) yang penetapan pejabatnya atas dasar pemilihan umum Kedua, local government berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintahan lokal (mengacu pada fungsi). Ketiga, local government berarti daerah otonom, Local government memiliki otonomi (lokal), dalam arti self governmet.
Di Indonesia istilah local government berarti pemerintah daerah yang memiliki otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah (KDH) selaku penyelenggara pemerintahan tertinggi. Bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah melaksanakan fungsi policy making dan sekaligus melakukan fungsi policy execuring dengan menggunakan instrumen perangkat birokrasi lokal (local burcaucracy). Dalam hal yang menyangkut pelayanan publik dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah, BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Public services (pelayanan publik) memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Olive Holtham (Leslie Willcocks dan Jenny Harraw : 1992).
1. Generally cannot choose customer
2. Roles limited by legislation
3. Politics institutionalizes conflict
4. complex accountability
5. very open to security
6. action must be justified
7. Objectives-outputs difficul to state /measure
Dengan karakteristik tersebut, pelayanan publik memerlukan organisasi yang berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap terjadi kenaikan harga atas suatu pelayanan publik harus dibicarakan atau harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak legislatif (Achmad Nurmadi : 1999).
Terdapat jenis pelayanan publik seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar saja. Ada selompok masyarakat yang tidak dapat menikmati pelayanan publik tertentu (ini berkaitan dengan aspek pemerataan), jika ditangani oleh sistem pasar/privat. Gejala ini disebut kegagalan pasar (market failure).
Salah satu bentuk intervensi pemerintah adalah dengan penyediaan barang-barang publik (public goods). Barang-barang Publik memiliki dua karakteristik yaitu (1) "non-exludability" dan (2) “non-rivalry consumption". Karakteristik non- excludability barang publik diartikan bahwa orang-orang yang membayar agar dapat mengkonsumsi barang itu tidak dapat dipisahkan dari orang-orang yang tidak membayar tetapi dapat mengkonsumsinya juga. Sedangkan karakteristik non rivalry consumption diartikan bahwa bila seseorang mengkonsumsi barang itu, orang lainpun mempunyai kesempatan mengkonsumsinya pula tanpa mengurangi kepuasan orang lain.
Oleh karena pihak swasta tidak bersedia menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahlah yang harus menyediakannya agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan (Nurdjaman Arsjad, dkk :1992). Intervensi pemerintah akan lebih menonjol dilakukan oleh pemerintah daerah yang bercirikan pedesaan (rural). Ini disebabkan tuntutan masyarakat di perkotaan lebih mendesak daripada di pedesaan. Kenyataan yang tidak dihindari adalah terjadinya pergeseran barang/jasa privat berubah menjadi barang/jasa publik (dan sebaliknya), misal pemadam kebakaran. Di pedesaan pemadam kebakaran bersifat barang/jasa privat sehingga tidak diperlukan Dinas Pemadam Kebakaran, tetapi di Perkotaan berubah menjadi barang /jasa publik. Konsekuensinya adalah bila semakin banyak barang/jasa privat yang tidak dapat dihindari berubah sifat menjadi barang /jasa publik, maka beban pemrintah akan semakin tinggi. Hal ini sering dikatakan sebagai fenomena government growth (Sudarsono H:1997). Pertumbuhan beban pemerintah ini akan semakin berlebihan bukan hanya karena berubahnya barang privat menjadi barang publik saja, tetapi terurtama juga jika pemerintah tidak secara selektif menentukan batas-batas pekerjaannya. Adakalanya barang/jasa yang sebenarnya bercirikan barang/jasa privat masih di produksi atau subsidi oleh pemerintah kecenderungan munculnya beban tambahan pemerintah yang tidak dapat dihindari, maka efisiensi, efektifitas dan akuntubulitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sendirinya semakin menjadi kebutuhan. Itulah sebabnya di banyak negara dikembangkan paradigma reinventing government. (Sudarsono H: 1997)
Dalam penyediaan public services oleh pemerintah, tidak tertutup kemungkinan terjadinya government failure. Dalam hal ini intervensi sektor privat dapat dimungkinkan. Beberapa alasan keterlibatan sektor privat/swasta dalam pelayanan publik :
1. Meningkatkanya penduduk di perkotaan sementara Anggaran keuangan pemerintah terbatas.
2. Pelayanan yang diberikan sektor privat/swasta dianggap lebih efisien.
3. Banyak bidang pelayanan (antara lain penyehatan lingkungan dan persampahan) tidak ditangani pemerintah sehingga sektor privat/swasta dapat memenuhi kebutuhan yang belum tertangani tanpa mengambil alih tanggung jawab pemerintah.
4. Terjadi persainganan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional.
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam reinventing government, terutama prinsip catalytic government : steering rather than rowing (Osborne dan Gaebler :1992), mengisyaratkan perlunya dikembangkan privatisasi (debirokrasasi) atau public-private partnership. Istilah privatisasi pertama kali muncul dalam kamus 1983 dan didefinisikan secara sempit sebagai "menjadikan privat", mengalihkan kontrol dan kepemilikan dari publik ke privat. Namun istilah ini telah mendapatkan pengertian yang lebih luas; istilah privatisasi melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan masyarakat dan pemikiran kembali mengenai peranan pemerintah dalam : memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini berarti memberikan kewenangan yang lebih besar pada institusi masyarakat dan mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran sektor privat dalam aktivitas atau kepemilikan asset publik. (E.S. Savas : 1986).
E.S. Savas mengajukan beberapa bentuk/model penyediaan barang dan jasa yang menghubungkan antara konsumen, produsen dengan pengatur. Dengan demikian dalam penyediaan /pelayanan barang dan jasa terdapat 3 partisipasi/pihak/aktor utama yang terlibat yaitu :

1. konsumen (service consumer)
2. produsen (service producer)
3. pengatur (service arranger or service provider).

Konsumen : secara langsung memperoleh atau menerima pelayanan. Produser : adalah agen dapat berupa instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atau lembaga swasta yang secara nyata dan langsung menghasilkan atau memberikan pelayanan kepada konsumen.
Pengantar : adalah agen/lembaga yang mengatur mekanisme antara produsen dan konsumen. Lembaga ini dapat berasal dari lembaga pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hubungan ketiga elemen /pihak yang terlibat dalam pelayanan publik dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Bentuk-bentuk /model-model pelayanan barang dan jasa adalah sebagai berikut (E.S. Savas:1986, Achmad Nurmadi : 1999)
1. Government Service
Model pelayanan ini umum dilakukan di semua negara, dimana pemerintah memberikan semua jenis pelayanan publik kepada pemerintah memberikan semua jenis pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah menjalankan fungsi sebagai pengatur pelayanan (service arranger) dan produsen pelayanan (service procuder). Perangkapan tugas produksi dan pengatur (provisi)ini berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro yang diatur suatu negara.
2. Intergovernmental Agreement Di tingkat yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat pula mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan. Dalam model ini konsumen membayar secara langsung biaya pelayanan kepada pemerintah daerah atau yang menjalankan fungsi provisi. Sedangkan fungsi produksinya tetap dijalankan oleh pemerintah pusat.
3. Government vending Dalam model ini seorang individu dapat membeli pelayanan dari pemerintah sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini, konsumen (individu organisasi) bertindak sebagai pengatur (service arranger) dan membayar kepada pemerintah atas sejumlah pelayanan publik. Misalnya : seorang individu dapat menggunakan tenaga polisi untuk mengontrol (mengawasi) penonton dalam pertunjukan musik yang dimiliki secara pribadi. Dalam model ini pemerintah dapat mengontrak atau memberikan mandat kepada perusahaan negara (atau daerah kalau di daerah) untuk memberikan pelayanan. Pihak yang dikontrak adalah perusahaan swasta, misalnya pemerintah mengontrak perusahaan swasta untuk penyapuan jalan, pemeliharaan lampu jalan, pemeliharaan traffic light, penyedotan tinja, pengumpulan sampah dan lain-lain. Dalam model ini, produksi dan provisi pelayanan dilakukan oleh pihak yang memperoleh hak kontrak, dalam hal ini pihak swasta. Sedangkam komsumen membayar secara langsung atas biaya pelayanan yang diterima kepada produsen.
5. Grant
Dalam model Grant, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen, dengan tujuan menurunkan harga barang dan jasa pelayanan. Secara umum, pemerintah memberikan penurunan nilai pajak yang harus dibayar oleh produsen pada berbagai bidang pelayanan publik. Produsen adalah pihak swasta, sedangkan pemerintah dan masyarakat (konsumen) bertindak sebagai co-arranger. Artinya, pemerintah menyeleksi perusahaan swasta tertentu dari sejumlah perusahaan swasta yang berminat, sedangkan masyarakatpun melakukan pilihan pada pelayanan yang diberikan perusahaan manakah yang layak sesuai dengan mekanisme pasar.
6. Voucher
Dalam model voucher ini, konsumsi barang-barang tertentu diarahkan secara khusus kepada konsumen tertentu. Perusahaan swasta yang memberikan pelayanan dibayar secara langsung oleh pemerintah. Namun dalam kasus ini, konsumen secara bebas memilih barang dan jasa yang dikehendakinya.
7. Franchise
Dalam model ini pemerintah memberikan hak monopoli kepada suatu perusahaan swasa untuk memberikan pelayanan dalam suatu batas geografis tertentu, dan pemerintah menentukn tarif yang harus dibayar oleh konsumren. Pemerintah dalam kasus ini melakukan fungsi sebagai pengatur dan perusahaan swasta untuk pelayanan yang diberikan, sedangkan konsumen membayar secara langsung kepada perusahaan swasta tersebut.
8. Market
Dalam sistem pasar, konsumen memilih secara produsen barang dan jasa yang dikehendaki sesuai dengan kualitasnya tanpa campur tangan pem,erintah dalam mekanisme ini. Dalam mekanisme pasar pemerintah tidak berperan, baik sebagai penyedia jasa maupun sebagai pengatur pelayanan jasa (service arranger). Semuanya tergantung kepada produsen dan konsumen. Mekanisme pasar seperti ini memang mempunyai keuntungan, terutama dalam mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan kualitas pelayanan yang diberikan.
9. Voluntary Service Dalam sistem ini lembaga/organisasi swadaya secara sukarela memberikan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Lembaga /organisasi tersebut bertindak sebagai pengatur (service arranger) dan penyedia /produsen pelayanan (service producer).
10. Self Service
Bagian terbesar dari penyediaan pelayanan jenis/model pelayanan yang disediakan/ dilakukan sendiri oleh individu/masyarakat (self service atau self-help). Misalnya: Pemeliharaan Kesehatan Perlindungan dari bahaya kebakaran/pencurian, kesejahteraan, dsb.
Jenis atau model pelayanan ini umumnya dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan. Misalnya : Pelayanan pengumpulan sampah Kebersihan desa/lingkungan Pembuatan Jalan/Gang, dsb.
Model-model pelayanan publik yang telah diuraikan merupakan ilustrasi aktivitas penyediaan pelayanan publik di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia beberapa bentuk pelayanan publik yang melibatkan sektor swasta antara lain : BOT (Build, operate and transfer), BOO (build, operate and own), BOOT (build, operate, own, and transfer) atau banyak yang dikenal sebagai Sewa Gina dan Guna Serah.
Perkembangan pemikiran berikutnya mengenai perlunya perubahan peran pemerintah daerah dalam penyediaan public services, adalah apa yang dikemukakan oleh S. Leach tentang "enabling authority" (Steve Leach, et.al, 1994). Dalam hal ini pemerintah daerah tidak lagi menyediakan public services secara sendiri tetapi melibatkan juga kewenangan sektor privat/swasta dan masyarakat dengan voluntary organisationnya sebagai alternatif terdapat tiga dimensi public services :
1. Dimensi ekonomi (the economic dimension)
Dalam produksi dan distribusi local goods and services apakah menekankan pada peranan pasar peranan pasar (market emphasis) atau pada peranan sektor publik (public sector agencies).
2. Dimensi pemerintah (the governmental dimension)
Dimensi ini membedakan antara weak role for local government dan strong role for local government (peranan pemerintah lemah) ditandai sempitnya fungsi tanggung jawab, bertindak reaktif, otonomi/diskresi rendah dan derajat kontrol eksternal (pemerintah pusat) yang tinggi. Strong role for local government (peranan pemerintah kuat) ditandai oleh luasnya fungsi tanggung jawab, bertindak positif, tingkat otonomi/diskresi tinggi dan tingkat kontrol eksternal terbatas.
3. Dimensi bentuk demokrasi (the form of democracy)
Dua bentuk demokrasi lokal, yaitu representative democracy dan participatory democracy. Dalam representative democracy (demokrasi perwakilan). Preferensi masyarakat diekspresikan melalui sistem pemilihan lokal. Sedangkan dalam participatory democracy (demokrasi partisipasi), partisipasi masyarakat lokal dan forum demokrasi dipandang sebagai unsur utama dalam pengambilan keputusan lokal, dengan suatu kerangka kebijakan yang dilegitimasikan melalui pemilihan yang sukses.


B. Infrastruktur sebagai Public Service Yang Utama

Penyediaan Pelayanan yang paling diperlukan adalah Infrastruktur, definisi Infrastuktur menurut The Routladge Dictionary of Modern Economics (1996) adalah pelayanan utama dari suatu Negara yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat supaya terjamin kelangsungannya dengan menyediakan fasilitas public, dalam majalah Priority Outcome No 3 Pebruari 2003, Infrastruktur dibagi 3, yaitu:
a. Infrastruktur Ekonomi, merupakan aset yang menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final meliputi:
1. Public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas),
2. Public works (jalan, bendungan, saluran irigasi dan drainase)
3. Transportation (jalan kereta api, lapangan terbang dan pelabuhan)
b. Infrastruktur Sosial, merupakan asset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi:
Pendidikan (Sekolah, Universitas & Perpustakaan)
Kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas)
Rekreasi (Taman, Museum)
c. Infrastuktur Administrasi/Institusi ( Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan, Kebudayaan)

Infrastruktur di Indonesia
Perkembangan Infrastruktur di Indonesia mengalami perubahan berarti, setelah otonomi daerah dengan perubahan paradigma dari sentralistik sektoral menjadi pembangunan desentralistik regional, sehingga peran pemerintah daerah dalam menyediakan infrastruktur sebagai fasilitas publik mutlak diperlukan, artinya pemerintah daerah dituntut mampu menyediakan infastruktur yang mampu berperan dalam mendukung pergerakan orang, barang dan jasa untuk mendukung perekonomian sekaligus mempersempit kesenjangan antar daerah dan infrastruktur public tersbut memiliki korelasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang dan lingkungan hidup.

1. Jalan.
Infrastruktur Jalan memiliki peran sebagai pendukung ekonomi dan sosial budaya masyarakat, karena mobilisasi ekonomi kita saat ini sangat bertumpu pada jaringan jalan. Muatan barang sebagian besar masih diangkut dengan angkutan darat dibanding angkutan lain. Oleh karena itu kondisi dan kualitas jalan raya khususnya di jalur ekonomi harus dalam keadaan baik, sehingga penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan akan menyebabkan biaya sosial yang tinggi.

Infrastruktur jalan masih merupakan kebutuhan pokok bagi pelayanan distribusi pertanian, industry dan perdagangan, karena sebagai penghubung sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran sehingga dengan tersedianya infrastruktur jalan yang memadai akan dapat menunjang berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu pembangunan, tersedianya jaringan jalan yang baik akan menyebabkan efisensi dalam pasar karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan, sebab dengan adanya infrastruktur jalan maka orang, barang, jasa dapat berpindah atau berubah dari satu tempat ke tempat lainnya.


Perkembangan Jalan
Hingga tahun 2005, total panjang jalan mencapai 391.009 Km dengan rincian sebagai berikut:
Length of Road By Level of Government Responsibility, Indonesia 1987 - 2005 (Km)
Year
1987 222,924.00
1988 250,314.00
1989 266,326.00
1990 283,516.00
1991 313,897.00
1992 319,758.00
1993 344,892.00
1994 356,878.00
1995 327,227.00
1996 336,377.00
1997 341,467.00
1998 355,363.00
1999*)355,951.00
2000 355,951.00
2001 361,782.00
2002 368,362.00
2003 370,516.00
2004 372,929.00
2005 391,009.00

(Sumber: Biro Pusat Statistik)

Dari data diatas terlihat perkembangan jalan lebih banyak dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota yang membangun jalan Kota/Kabupaten, dan memang hal tersebut menjadi tuntutan di era otonomi daerah, sedangkan Tahun 2004 ke Tahun 2005 terlihat tidak ada penambahan Jalan Negara maupun Propinsi, kemungkinan saat itu Anggaran Belanja Negara dan Propinsi lebih difokuskan untuk Pemilihan Umum, sehingga pembangunan prasarana jalan sedikit terbengkalai.

Permasalahan Infrastruktur Jalan
Banyaknya kerusakan jalan menyebabkan terjadinya kemacetan massif (bottleneck) di berbagai ruas-ruas jalan yang merupakan jalur lalu lintas ekonomi yang efeknya meningkatkan biaya sosial ekonomi pengguna jalan.

2. Listrik
Selain Infrastruktur Jalan, Pembangunan ekonomi jelas membutuhkan infrastruktur tenaga listrik. Cakupan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi, karena listrik telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari dan hamper semua aktivitas masyarakat sangat tergantung pada tenaga listrik, bahkan beberapa waktu lalu ketika terjadi krisis listrik untuk daerah Jawa dan Bali, terjadi sedikit gejolak.
Pembangunan kelistrikan di Indonesia telah berkembang pesat sejak dasawarsa tahun 1950-an ketika pusat-pusat pembangkit listrik pemerintah dan swasta pada masa penjajahan Belanda dan Jepang telah dinasionalisasikan dan dikuasai oleh Negara. Pada tahun 1961 sebagai pengelola kelistrikan Negara dibentuklah Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara sebagai embrio dari PT. PLN bersadar UU No 19/PRP/1960 tanggal 30 April 1960 Junto PP No 67 Tahun 1961 tanggal 29 Maret 1961 yang mencakup hamper seluruh usaha-usaha kelistrikan Negara.

Perkembangan Listrik saat ini
Namun krisis moneter tahun 1998 telah menjadikan roda pembangunan tenaga kelistrikan merosot tajam, kekuatan investasi melemah sehingga terjadi krisis listrik terutama di wilayah luar jawa, akibatnya roda perekonomian menjadi semakin tersendat. Sistem Kelistrikan nasional saat ini dibagi menjadi 2 sistem besar, yaitu:
• Sistem Kelistikan Jawa Bali (KJB)
• System Kelistrikan Luar Jawa Bali (KLJB)
Sistem Kelistikan Jawa Bali (KJB) saat ini telah berkembang cukup baik dengan sistem interkoneksi yang membentang sepanjang pulau Jawa dan Bali dengan kapasitas jaringan ekstra tegangan tinggi 500KV dan jaringan tegangan tinggi 150KV serta di dukung sistem pembangkit berkapasitas raksasa, dalam sistem KJB ini unit usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi telah dipisahkan dan dikelola oleh manajemen secara terpisah namun terintegrasi sehingga mampu menyuplai 80% konsumsi tenaga listrik nasional.
Sedangkan Sistem Kelistrikan Luar Jawa bali (KLJB) beberapa sub sistemnya masih terpisah dan belum dilakukan interkoneksi sedangkan sisanya interkoneksi terbatas dan hanya mampu menghasilkan total jaringan tegangan tinggi 150KV atau hanya 20% konsumsi tenaga listrik nasional.

Kapasitas Listrik terjual /Electricity Sold to Customers by Electricity State Company (PLN) 1995-2006 adalah:
Year
1995 39,628,677
1996 57,000,002
1997 64,295,305
1998 65,358,567
1999 71,734,833
2000 79,169,632
2001 84,500,800
2002 88,411,850
2003 90,440,178
2004 99,827,496
2005 107,032,230
2006 108,098,980

Sumber: Biro Pusat Statistik

Permasalahan Keliistrikan
Ketidakseimbangan antara pasokan listrik dan kebutuhan tenaga listrik akan sangat mengkhawatirkan bila tidak segera ditangani, sudah lebih dari 3 dekade dapat mengantisipasi pertumbuhan ekonomi, saat ini kelistrikan mempunyai masalah yang cukup signifikan, sehingga UU no 20 tahun 2002 tentang kelistrikan mengatur iklim investasi sektor swasta dengan cukup kondusif dengan tidak lagi pada monopoli PT PLN.
Permasalahan lain adalah kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau bahkan ada yang sangat terpencil dengan jalur transportasi belum terjamah armada transportasi sehingga harus ditangani oleh sistem yang terpisah dan tidak efisien, selain itu jauhnya lokasi cadangan sumberdaya energy yang sebagian besar di luar pulau Jawa padahal kebutuhan listrik terbesar ada di pulau Jawa
Selain itu Kenaikan harga energi primer terutama BBM, gas dan batubara semakin meningkatkan biaya produksi sehingga menurunkan kapasitas produksi, oleh Pemerintah hal tersebut disiasati dengan mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit berbahan bakar minyak dan gas yang diamanatkan dalam Perpres no 71/72 Tahun 2006.

3. Air Bersih
Air Bersih menjadi kebutuhan penting masyarakat, namun karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana dan sarana air bersih, maka sebagian besar masyarakat menggunakan air tanah baik dengan membuat sumur atau mencari sumber mata air.

Perkembangan Air Bersih
Hingga tahun 2006 Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia mencapai 315 buah tersebar di Kota dan Kabupaten Seluruh Indonesia dengan total kapasitas produksi mencapai 7.536.664M3/detik dengan rincian:
Propinsi 2006
NAD 56,158.00
Sumut 596,011.00
Sumbar 160,287.00
Riau 105,562.00
Jambi 115,843.00
Sumsel 136,631.00
Bengkulu 56,033.00
Lampung 96,228.00
Babel 10,221.00
Kep Riau 98,671.00
DKI 1,323,184.00
Jabar 811,642.00
Jateng 924,027.00
DIY 113,307.00
Jatim 1,124,308.00
Banten 180,759.00
Bali 293,748.00
NTB 113,373.00
NTT 71,662.00
Kalbar 141,320.00
Kalteng 83,546.00
Kalsel 176,950.00
Kaltim 204,356.00
Sulut 52,978.00
Sulteng 47,593.00
Sulsel 253,189.00
Sultengga 46,725.00
Gorontalo 20,080.00
Sulbar 15,406.00
Malut 17,862.00
Papua 64,165.00
INDONESIA 7,536,664.00
Sumber: Biro Pusat Statistik
Permasalahan Air Bersih
Kualitas air baku, fasilitas sarana dan prasarana pengolahan, jaringan distribusi dan pengelolaan yang belum memenuhi standar kualitas air bersih, standar keshatan maupun standar teknis, mengakibatkan belum terpenuhinya pelayanan “safe drinking water” yaitu air siap minum, saat ini hanya PDAM Kota Malang yang telah mampu menghasilkan air siap minum itupun belum maksimal digunakan masyarakat.
Kecenderungan yang ada, ditambah dengan euphoria otonomi daerah menyebabkan masing-masing Kabupaten/Kota memiliki sendiri Perusahaan Air Minum sesuai batas administrasi wilayah tanpa memperhatikan efektivitas pelayanan sesuai dengan besaran aktivitas ekonomi dan jumlah penduduk serta tidak melihat terbatasnya ketersediaan air baku yang akhirnya menimbulkan masalah seperti:
• Jumlah pelanggan tidak mencapai skala ekonomis
• Keterbatasan air baku dalam wilayah administrasi
• Menurunnya kualitas lingkungan akibat pengambilan air baku berlebihan
• Konflik kepentingan antara PDAM dan Pemerintah Daerah

Mengingat pentingnya kebutuhan akan air sebagai hajat hidup orang banyak, maka sampai saat ini harga jual air di atur oleh Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD melalui Peraturan Daerah, hal tersebut menyebabkan masalah bagi sebagian besar PDAM karena harga yang ditetapkan lebih bersifat sosial bahkan politik bukan pada perhitungan teknis, keuangan maupun pelayanan akibatnya seringkali harga jual ke masyarakat seringkali lebih rendah dari biaya produksinya. Sehingga banyak PDAM yang hidupnya kembang kempis dan pelayanan yang diberikan menjadi sekedarnya.
Pentingnya Infrastruktur Publik bisa dilihat dari data-data negara – negara berkembang yang melakukan investasi sebesar US$ 200 milyar per tahun untuk infrastruktur baru, nilai ini ± 4 % dari output nasional dan 1/5 dari total investasi (The World Bank, 1994). Dampak investasi ini dalam meningkatkan jasa infrastruktur diharapkan sangat besar, namun performa infrastruktur sering mengecewakan. Salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam pengalokasian dana. Misalnya dengan terus melakukan pembangunan infrastruktur baru tanpa melakukan perawatan terhadap infarstruktur yang sudah ada. Dengan tingkat perawatan yang kurang mencukupi, tingkat efektifitas tenaga listrik di negara berkembang hanya 60 % dari kapasitas terpasangnya (optimalnya 80 %) (The World Bank, 1994). Perawatan yang buruk ini tentunya akan mengurangi jasa pelayanan serta meningkatkan biaya bagi penggunanya.
Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Karena itulah infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta.
Infrastruktur juga dapat dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dengan adanya pengurangan waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan air bersih, berangkat bekerja, menjual barang ke pasar dan sebagainya. Infrastruktur yang baik juga dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi.
Pustaka:
Desentralisasi Public Service di era otda (Sri Susilih)
Pengaruh Infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi daerah (Marsaulina)