23 September 2008

20 September 2008

Kekonyolan Karena Kesombongan


Kemaren aku ikut kuliah umum di Depok yang diselenggarakan pemberi sponsor beasiswa yang menurutku sedikit konyol, dalam keadaan fisik terasa lelah sekali, setelah diforsir selama satu minggu menghadapi Ujian Tengah Semester yang lumayan menyita tenaga dan pikiranku, atau mungkin karena keterbatasan kemampuanku dalam menyerap mata kuliah yang diberikan.. dalam kuliah tersebut, sang Pejabat menyuarakan kesombongan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang akademisi dengan berlagak sang Sinterklas yang baik hati memberikan beasiswa namun dengan konyolnya merendahkan audien yang notabene para PNS, dengan gagahnya mengutip dari sana-sini menyatakan politik merupakan sendi utama dalam kehidupan, semua tak lepas dari politik. Politik benar merupakan salah satu tool dalam bernegara, tetapi politik bagai pisau bermata dua, sangat tergantung dari pemakainya dan untuk apa politik digunakan, sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa politik telah berlangsung sangat lama mengakar dan hasilnya justru memakan korban, sejak jaman Majapahit dengan Mahapati yang memakan pahlawan Lembu Sora, Nambi, Ranggalawe berlanjut ke revolusi kemerdekaan yang menenggelamkan pejuang Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Natsir & Amir Sjarifuddin,dan terakhir berakhirnya Orde Lama yang menenggelamkan Soekarno beserta jutaan rakyat yang tidak berdosa, Padahal yang dibutuhkan bangsa ini adalah negarawan bukan politikus, karena politikus tak lepas dari kepentingan tertentu, sedang negarawan selalu mementingkan bangsa. Timbul pertanyaan apakah sang pejabat tersebut yang notabene anggota dewan yang terhormat dan merupakan pejabat Negara, mengapa kembali menjadi PNS biasa dengan penghasilan Pejabat Eselon II di tempat yang kata orang relatif kurang basah dibandingkan anggota dewan yang terhormat, harapan baiknya adalah memang ada ketulusan hati untuk mengabdikan diri bagi Negara bukan karena tidak terpilih lagi oleh rakyat.
Saya jadi teringat dalam perdebatan yang panas dikantor dengan 2 orang teman, ketika terjadi kekerasan terhadap Aliansi Kebangsaan di Lapangan Monas, yang seorang begitu emosi bahkan mengatakan saya tidak tahu apa-apa tentang Qur’an dan Antek Amerika, Apakah karena saya bersimpati dengan kegiatan Aliansi Kebangsaan maka saya disebut pengikut Ahmadiyah, Apakah saya memang pantas disebut pendukung Amerika, dikarenakan saya berpendapat bahwa tidak semua Orang Amerika, Orang Kristen sebagai penentang Islam, atau bahkan karena saya baru bisa menjalankan kewajiban dengan sekedarnya, khatam Qur’an kalau bulan Ramadhan itupun dengan lafal seadanya alias tidak merdu seperti seorang Qori, Ibadah Sholat belum khusu’ sehingga masih terbayang beberapa persoalan-persoalan pribadi yang membelit dan hanya partisan sebuah organisasi islam tradisional sehingga dengan lantang dia Perlu mengucap Amar ma’ruf Nahi Munkar, sebuah slogan organisasi islam yang disebut sebagai isi Qur’an sehingga sikap saya diangggap sebuah kemunkaran, Untung saja dia tidak mengetahui bahwa saya mengagumi Marx, Tan Malaka, Ahmad Wahib sebagaimana saya menghormati Soekarno, Natsir, Sayiddina Ali, Imam Umar Ibnu Al-Khatab, Imam Al Ghozali.. Padahal Islam sebagai Ad-Din sebagai Rahmatan Lil Alamin yang membawa rahmat, membawa kedamaian bukan teror, bukan kekerasan..
Yang Lebih parah lagi, ada pengalaman yang sangat saya sesalkan, karena dengan kejadian tersebut, saya harus kehilangan sahabat semasa kuliah hanya karena cara pandang mereka yang sempit, menganggap yang paling benar adalah orang yang selama ini dianggap tidak mungkin salah, sementara saya yang relatif badung, pemberontak dsb pasti dipihak yang salah tanpa perlu mengklarifikasi bahkan menyebut saya orang yang konyol, menyedihkan dan sebagainya.. lebih menyedihkan lagi sesudah beberapa fakta baru terungkap mantan sahabat saya bagai tikus dekejar kucing alias bersembunyi dibalik kepengecutan.. Wallahu A'lam bi al showab