25 November 2013

BUMN Sebagai Kekayaan Negara Yang Dipisahkan

Sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka Pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan rakyat dalam hal ini langkah pemerintah dalam pengelolaan perekonomian Negara dengan membentuk Perusahaan Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 sebagai pedoman pengelolaan Perusahaan Negara dengan Saham Negara pada Perusahaan Negara seluruhnya bersumber dari Kekayaan Negara yang dipisahkan. Dipisahkan dalam arti pengelolaan kekayaan Negara tersebut tidak dilakukan dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Negara (APBN) . Peran BUMN yang demikian besar ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan BUMN untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Belakangan bahkan cukup banyak BUMN/Perusahaan Negara yang dalam posisi sangat kritis akhirnya membebani Negara untuk mengucurkan dana segar kekayaan Negara sebagai penyertaan modal Negara ke dalam BUMN sebagai upaya penyelamatan BUMN, dari sisi jumlah, data BUMN yang di rawat oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) jumlah BUMN yang sedang dirawat inap sebanyak 11 buah. Kebijakan Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melakukan administrasi Negara untuk mengelola kekayaan Negara, Pemerintah melakukan pengaturan Administrasi kekayaan negara melalui Kementerian Keuangan. Kekayaan Negara dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Kekayaan Negara tidak dipisahkan dan Kekayaan Negara dipisahkan dengan penjabaran sebagai berikut: a. Kekayaan Negara tidak dipisahkan adalah dalam bentuk Barang Milik Negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). b. Kekayaan Negara Dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Perseoan dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainya. Untuk pengelolaan Kekayaan Negara dipisahkan dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 228 tahun 2001 dan selanjutnya menerbitkan PP nomor 64 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, kewenangan selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/Pemegang saham pada PERSEROAN/Perseroan Terbatas, Wakil Pemerintah Pada Perusahaan Umum (Perum), dan pembina keuangan pada Perusahaan Jawatan (Perjan) yang sebelumnya berada di Menteri Keuangan dialihkan kepada Menteri BUMN. Tugas Menteri Negara BUMN adalah membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara. Menteri Negara BUMN menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan pemerintah dibidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan efesiensi, privatisasi dan restrukturisasi BUMN; b. Pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana program, pemantauan, analisis dan evaluasi dibidang pembinaan BUMN; c. Penyampaian laporan hasi evaluasi, saran dan pertimbangan dibidang pembinaan BUMN kepada Presiden. Badan Usaha Milik Negara dan Perkembangannya Eksistensi BUMN dimulai dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh disertai krisis konomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat sinyal bahwa pemerintahan parlementer akan membawa Indonesia kedalam keterpurukan. Gerakan menuju ke Pemerintahan Presidensial sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pun dimulai. Bulan November 1957, Presiden Soekarno mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia karena PBB gagal mengeluarkan resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk masalah Irian Barat. Gerakan ini menjadi titik awal dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan dari Belanda ke Indonesia, 90% produksi perkebunan beralih ke tangan Indonesia. Kemudian, Perusahaan-perusahaan Negara yang secara spesifik dikenal sebagai BUMN membentuk konglomerasi bisnis paling raksasa dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem ekonomi Indonesia. BUMN-BUMN bergerak dalam berbagai bisnis dari yang paling sederhana sampai yang sangat rumit seperti industri pesawat terbang. Sebagaian BUMN terpusat pada pelayanan publik seperti Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Perbankan dan Jasa Keuangan, Jasa Kontruksi dan Jasa Lainnya, Logistik dan Prasarana Angkutan, Pertambangan, Telekomunikasi dan Industri strategis. Perspektif Kekayaan BUMN Membicarakan sudut pandang hukum terhadap kekayaan Badan Usaha Milik Negara sebagai kekayaan Negara mewajibkan kita untuk melihat dan memahami norma dan peraturan hukum terkait yang ada. Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan,menuntut dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungan yang satu sama lainnya. Untuk bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, barang tentu ia harus mempunyai kekuatan memaksa. Paksaan ini tertuju kepada para anggota masyarakat dengan tujuan mematuhinya sedangkan hukum adalah Norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan. Yang menjadi permasalahan dalam konstalasi hukum Indonesia terjadi penafsiran yang berbeda terhadap BUMN, hal tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang mengatur dan perbedaan kepentingan terutama bila dikaitkan bahwa BUMN adalah berupa Perseroaan Terbatas yang dikaitkan dengan Hukum Privat sehingga selain mengacu terhadap Undang-Undang no 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga tunduk pada Undang-Undang No 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang no 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pandangan bahwa BUMN adalah ranah hukum privat, yang artinya kekayaan negara hanya merupakan penyertaan modal berpendapat Suatu Badan Hukum yang dibentuk Pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan Negara menjadi kekayaan Badan Hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata. Demikian pula kedudukan hukum pejabat pemerintah yang duduk sebagai Pemegang Saham atau komisaris sama atau setara dengan kedudukan hukum masyarakat biasa atau Pemegang Saham swasta lainnya. Imunitas publiknya sebagai penguasa tidak berlaku lagi dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat meskipun perusahaan tersebut seratus persen milik Negara, Penyertaan modal negara di sebuah korporasi statusnya adalah penyertaan biasa dengan status hukum yang sama dengan penyertaan oleh pihak partikelir lain (swasta). Pandangan tersebut diperkuat dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dimana Persero memiliki tujuan utama mengejar keuntungan dan Perum bertujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Oleh karenanya menjadikan tujuan Badan Usaha Milik Negara tersebut tidak ubahnya atau relatif sama sebagaimana perseroan terbatas swasta lainnya dan pengelolaannya didasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, jika terjadi kerugian di suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian yang disebut sebagai risiko bisnis sebagai badan hukum privat. Pandangan tersebut menurut hemat penulis, kurang tepat, harus dipahami bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjadi instrumen penting dari kebijakan sosial dan ekonomi dalam ekonomi campuran industri dan di negara-negara berkembang. Penggunaan BUMN sebagai instrumen kebijakan publik dan bentrokan yang terjadi antara perusahaan-perusahaan BUMN dan perusahaan swasta di satu sisi dan pemerintah dan pengendali lainnya di sisi lain, yang menyebabkan keprihatinan, sehingga transparansi publik bukan hanya dari angka-angka keuangan tentu sangat diharapkan oleh publik. Banyak cara yang dilakukan pengurus Badan Usaha Milik Negara dimasa lampau untuk memupuk atau menyelematkan kekayaan yang dimilikinya. Praktik-Pratik bisnis yang lazim dilakukan antara lain, penjualan produk/jasa, pembelian barang persedian atau bahan baku, penarikan hutang dan pengaggunan aktiva tetap yang dimilikinya, kerjasama usaha, Penghapusbukuan dan pemindahtanganan Aktiva, restrukturisasi dan privatisasi usaha. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas maka oleh Pemerintah diterbitkan paket Undang-Undang Keuangan Negara dalam rangka pengamanan atas kekayaan Negara yang telah ditempatkan dalam BUMN yaitu berupa Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang no 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara. Adapun tujuan dari dilakukan penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Optimalisasi Barang Milik Negara; b. Mendirikan, mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, dan Badan Hukum lainnya Sedangkan pertimbangan dilakukannya penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Dalam rangka pendirian dan/atau mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; b. Dalam rangka mendukung BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya untuk menjalankan tugas Kewajiban Pelayanan Umum yang diberikan oleh Pemerintah; c. Yang diusulkan merupakan proyek selesai kementerian/lembaga yang dari awal pengadaannya telah diprogramkan untuk diserahkan pengelolaannya pada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; d. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan tersebut menjadi lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya Menurut Pasal 1 Ayat (1) Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam Pasal 2 Ayat huruf(g) dinyatakan bahwa kekayaan negara yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) di atas adalah Kekayaan negara/kekayaan daerah adalah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara secara jelas mennyatakan bahwa kewenangan pemeriksaan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara ada pada Badan Pemeriksa Keuangan, Secara hakiki, sebab kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, maka semua BUMN harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam buku Ekonomi Publik, Leif Johansen disebutkan bahwa semua SOE (State Owned Enterprises) merupakan bagian ekonomi negara, berarti bila Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pemeriksa yang ditunjuk Negara di Indonesia, maka SOE tunduk pada aturan itu. UU Keuangan Negara No 17 tahun 2003 menegaskan itu, dan itu adalah tuntutan dari UUD 1945, di mana keberadaannya dicantumkan dalam pasal 23. Dalam Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 pasal 7 disebut: "Tugas dan Usaha Bank diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan perkembangan ekonomi nasional dengan jalan melakukan usaha bank umum dengan mengutamakan sektor industri". Di sini sebenarnya ada pertentangan internal, sebab Perseroan Terbatas yang merupakan lembaga yang umumnya untuk kepentingan sektor swasta, tidak mengacu pada "perbaikan ekonomi rakyat" tetapi untuk kepentingan para pemodal, tanpa ada kewajibam untuk kepentingan ekonomi rakyat. Bila Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 menyatakan untuk ekonomi rakyat, maka berarti acuan konstitusi untuk itu adalah "Demokrasi Ekonomi" yang didefenisikan "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat". Kondisi tersebut tidak sesuai dengan bentuk Perseroan Terbatas. Satu hal perlu diperhatikan tentang situasi SOE’s di dunia. Di Singapura 60 % Produk Domestik Bruto berasal dari SOE, demikian pula di Taiwan, Korea Selatan, Perancis, dan banyak negara lain. Jadi SOE tidak harus menjadi lembaga swasta untuk mampu berkiprah ekonomi yang prima. Teori privatisasi dari Sappington-Stiglitz menyatakan bahwa swasta tidak merupakan jaminan keberhasilan perusahaan. Kasus lama Enron di AS lalu, berbagai penipuan publik di AS sekitar krisis 2008 adalah buktinya. Banyak yang tidak diketahui publik di Indonesia, bahwa sederet perusahaan pelayan publik di negeri Paman Sam yang tadinya diprivatisasi ternyata kemudian dinasionalisasi, sebab kinerjanya tidak sesuai dengan harapan, dan biaya-biayanya malah jauh lebih tinggi dari yang biasa dilakukan oleh lembaga publik. Berarti SOE tidak selalu mediokre dibanding usaha swasta, dan bila perusahaan tersebut adalah BUMN dengan kekayaan negara yang dipisahkan maka logika dan hakiki masalahnya, harus dibawah pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan selaku Auditor negara hal itu juga berarti kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urus terhadap harta BUMN. Juga memberikan prioritas pengembalian tagihan dalam hal ada pailit, karena dalam undang-undang kepailitan, hak negara mendapat prioritas terlebih dahulu dalam pelunasan dari boedel pailit. Sedangkan dari sisi Pengamanan Keuangan Negara semakin nyata dengan diterbitkannya UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 yang menyatakan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dst.. mengandung arti bahwa UU TPK memiliki substansi yang memandang kerugian dari sisi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kondisi tersebut semakin dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan putusan MK no 003/PUU-PU/2006 tanggal 24 Juli 2006 yang menyatakan: “ Menurut Mahkamah hal demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana pemohon, karena keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana”. Sehingga menurut penulis, amat sangat melukai perasaan rakyat Indonesia apabila BUMN selaku perusahaan negara yang tujuannya sebagai kepanjangan peran negara sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, tanggung jawab pengelolaannya dipisahkan dari keuangan negara.

22 Januari 2013

KETERANGAN AHLI OLEH PEMERIKSA BPK DAN HASIL AUDIT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN

Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut membuat Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru “dikerdilkan” menjadi pulih, dengan terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan BUMD skaligus penentu jumlah kerugian negara. Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta mampu melaporkan fakta secara lengkap. Hasil Pemeriksaan BPK dalam banyak pengalaman, sering dijadikan sebagai Bukti awal dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu pembuktian dalam proses pemeriksaan BPK sangat diperlukan, sehingga bukti tersebut benar-benar valid. Bagaimana pentingnya pembuktian dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana pula ketika hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK menjadi dasar besarnya kerugian negara, Selain itu Pemeriksa BPK sangat sering diminta sebagai keterangan ahli dalam berbagai proses sidang peradilan yang memerlukan kompetensi keahlian keuangan negara. Oleh karena itu pemahaman mengenai definisi Keterangan ahli dan Hasil Audit sebagai alat bukti dalam peradilan akan kita bahas dalam ulasan berikut: Keterangan Ahli Dalam KUHAP, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti untuk mendapatkan kebenaran materiil. bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab pada momen tersebut, hak asasi manusia dipertaruhkan. Oleh karena itulah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil yang diperoleh melalui alat-alat bukti. Dalam menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada, Indonesia menganut sistem pembuktian yang sama dengan Belanda dan negara negara Eropa Kontinental yang lainnya, yaitu hakim dengan keyakinannya sendiri yang menilai alat bukti yang diajukan. Dalam Ilmu hukum, teori pembuktian bisa direpresentasikan dalam 4 golongan sebagai berikut: a. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) atau teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), yaitu pembuktian yang hanya didasarkan hanya kepada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime), yaitu pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hati nurani hakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. c. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (la conviciton raisonnee), dimana hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian, dengan disertai suatu simpulan berlandaskan peraturanperaturan pembuktian tertentu. d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) yaitu pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh oleh alat-alat bukti tersebut. Teori ini dianut KUHAP di Indonesia. Representasi teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia terdapat pada Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk, dan e. Keterangan terdakwa Penempatan keterangan ahli pada urutan kedua setelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undang yang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum, karena pembuat undang-undang menyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian. Dengan demikian, fungsi ahli dalam pembuktian perkara pidana memang sudah dianggap signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan meminta keterangan ahli adalah membuat terang tindak pidana. Dengan mengaitkannya dengan Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 186 KUHAP dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli yang bernilai sebagai alat bukti haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. b. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Pasal 120 KUHAP juga menegaskan pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian memiliki syarat berikut: a. Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.Bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya, berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya”. b. Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau “vrij bewijskracht”. Artinya, nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan tidak melekat kepadanya. Hakim pun tidak terikat untuk menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud dan bebas menilainya. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, keterangan ahli juga harus ditunjang dengan alat bukti lainnya. Hasil Audit sebagai alat bukti Menurut Undang- Undang No 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara definisi Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sesuai definisi tersebut maka penafsiran yang luas atas hasil pemeriksaan adalah hasil pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan laporan keuangan suatu entitas oleh BPK, dimana pemeriksaan dilakukan atas dokumen dan bukti-bukti yang mendukung pengungkapan dalam laporan keuangan. Dari pemeriksaan tersebut BPK akan mengeluarkan pendapat pemeriksaan mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dari bentuk pembuktian, hasil pemeriksaan adalah suatu alat bukti yang termasuk alat bukti tulisan atau surat. Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi dua, yaitu: surat yang diberi tandatangan yang memuat suatu hak atau perikatan yang sejak semula ditujukan untuk pembuktian (akta) dan surat atau catatan yang tidak termasuk dalam golongan akta (disebut sebagai non akta). Akta sendiri dibagi menjadi dua (2) yaitu: akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu oleh penguasa yang mencatat apa yang dimintakan oleh pihak yang berkepentingan (disebut sebagai akta otentik) dan akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dri pejabat (disebut sebagai akta dibawah tangan). Masing-masing akta, non akta, akta otentik dan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang berbeda bagi pengadilan atau hakim sebagai pihak yang akan memeriksa dan mendasarkan putusannya berdasar bukti-bukti tersebut. Tidak ada satu rumusan untuk menggolongkan hasil pemeriksaan BPK termasuk dalam bukti tulisan atau surat yang mana. Satu pihak dapat menganggap hasil pemeriksaan sebagai akta otentik dengan alasan bahwa hasil pemeriksaan adalah suatu pernyataan yang dimintakan oleh auditee (pihak yang berwenang) dan kemudian diberikan oleh pejabat yang berwenang (BPK), maka pengadilan dapat menilai kekuatan pembuktiannya menjadi sah dan meyakinkan, artinya isi atau pernyataan dalam hasil pemeriksaan dan laporan keuangan tersebut diterima sebagai kebenaran, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hasil pemeriksaan juga digolongkan sebagai akta dibawah tangan dengan alasan tidak ada keterlibatan dari notaris, atau pejabat pembuat tanah lainnya. Hasil pemeriksaan mungkin juga dapat digolongkan sebagai non akta, karena hasil pemeriksaan hanya memeriksa laporan keuangan yang berisi pencatatan atau dokumentasi suatu entitas. Intinya suatu pihak dapat menafsirkan dan mengkonstruksikan suatu hasil pemeriksaan dimasukkan dalam golongan apa tergantung dari penafsiran pihak yang bersangkutan. Perlu diperhatikan, disini bahwa hasil pemeriksaan sendiri didasarkan pada laporan keuangan dan dokumen-dokumen pendukung atau catatan-catatan mengenai hal/pristiwa tersebut. Dalam melakukan pemeriksaaan, pemeriksa selain mendasarkan keterangan dari entitas, juga mendasarkan pada dokumen yang disediakan entitas. Selalu terdapat kemungkinan bahwa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan tidak merefleksikan keadaan sebenarnya, karena dokumen-dokumen tersebut bukan sumber hukum yang utama (primary source of law). Artinya laporan keuangan dan hasil pemeriksaan mendasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama. Apabila pernyataan atau isi laporan keuangan hasil pemeriksaan didasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama disajikan sebagai bukti dalam persidangan, besar kemungkinan pihak lawan akan berkeberatan dan dapat membuktikan kenyataan sebaliknya. Dalam membuktikan suatau dalil harus disertai alat bukti tulisan yang merupakan sumber hukum utama, atau dokumen utama. Hasil pemeriksaan atas laporan keuangan dapat dijadikan alat bukti sepanjang isi dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan diperoleh dari sumber hukum utama dan tidak bertentangan dengan isi dari sumber hukum utama. Menjawab pertanyaan bagaimana pengadilan memperlakukan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan sebagai bukti di pengadilan adalah bagaimana suatu pihak menafsirkan hasil pemeriksaan dan bagaimana tanggapan dari pihak entitas terhadap penafsiran pihak pemeriksa. Dalam hukum acara perdata, apabila satu pihak tidak menyanggah dalil yang diajukan pihak lain, maka pihak tersebut dianggap menerima dalil yang diajukan pihak lawan. Selanjutnya apabila suatu pihak yang ingin membuktikan suatu dalil wajib membuktikannya dengan alat bukti (dapat berupa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan).