25 November 2013

BUMN Sebagai Kekayaan Negara Yang Dipisahkan

Sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka Pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan rakyat dalam hal ini langkah pemerintah dalam pengelolaan perekonomian Negara dengan membentuk Perusahaan Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 sebagai pedoman pengelolaan Perusahaan Negara dengan Saham Negara pada Perusahaan Negara seluruhnya bersumber dari Kekayaan Negara yang dipisahkan. Dipisahkan dalam arti pengelolaan kekayaan Negara tersebut tidak dilakukan dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Negara (APBN) . Peran BUMN yang demikian besar ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan BUMN untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Belakangan bahkan cukup banyak BUMN/Perusahaan Negara yang dalam posisi sangat kritis akhirnya membebani Negara untuk mengucurkan dana segar kekayaan Negara sebagai penyertaan modal Negara ke dalam BUMN sebagai upaya penyelamatan BUMN, dari sisi jumlah, data BUMN yang di rawat oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) jumlah BUMN yang sedang dirawat inap sebanyak 11 buah. Kebijakan Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melakukan administrasi Negara untuk mengelola kekayaan Negara, Pemerintah melakukan pengaturan Administrasi kekayaan negara melalui Kementerian Keuangan. Kekayaan Negara dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Kekayaan Negara tidak dipisahkan dan Kekayaan Negara dipisahkan dengan penjabaran sebagai berikut: a. Kekayaan Negara tidak dipisahkan adalah dalam bentuk Barang Milik Negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). b. Kekayaan Negara Dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Perseoan dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainya. Untuk pengelolaan Kekayaan Negara dipisahkan dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 228 tahun 2001 dan selanjutnya menerbitkan PP nomor 64 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, kewenangan selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/Pemegang saham pada PERSEROAN/Perseroan Terbatas, Wakil Pemerintah Pada Perusahaan Umum (Perum), dan pembina keuangan pada Perusahaan Jawatan (Perjan) yang sebelumnya berada di Menteri Keuangan dialihkan kepada Menteri BUMN. Tugas Menteri Negara BUMN adalah membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara. Menteri Negara BUMN menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan pemerintah dibidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan efesiensi, privatisasi dan restrukturisasi BUMN; b. Pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana program, pemantauan, analisis dan evaluasi dibidang pembinaan BUMN; c. Penyampaian laporan hasi evaluasi, saran dan pertimbangan dibidang pembinaan BUMN kepada Presiden. Badan Usaha Milik Negara dan Perkembangannya Eksistensi BUMN dimulai dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh disertai krisis konomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat sinyal bahwa pemerintahan parlementer akan membawa Indonesia kedalam keterpurukan. Gerakan menuju ke Pemerintahan Presidensial sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pun dimulai. Bulan November 1957, Presiden Soekarno mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia karena PBB gagal mengeluarkan resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk masalah Irian Barat. Gerakan ini menjadi titik awal dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan dari Belanda ke Indonesia, 90% produksi perkebunan beralih ke tangan Indonesia. Kemudian, Perusahaan-perusahaan Negara yang secara spesifik dikenal sebagai BUMN membentuk konglomerasi bisnis paling raksasa dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem ekonomi Indonesia. BUMN-BUMN bergerak dalam berbagai bisnis dari yang paling sederhana sampai yang sangat rumit seperti industri pesawat terbang. Sebagaian BUMN terpusat pada pelayanan publik seperti Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Perbankan dan Jasa Keuangan, Jasa Kontruksi dan Jasa Lainnya, Logistik dan Prasarana Angkutan, Pertambangan, Telekomunikasi dan Industri strategis. Perspektif Kekayaan BUMN Membicarakan sudut pandang hukum terhadap kekayaan Badan Usaha Milik Negara sebagai kekayaan Negara mewajibkan kita untuk melihat dan memahami norma dan peraturan hukum terkait yang ada. Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan,menuntut dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungan yang satu sama lainnya. Untuk bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, barang tentu ia harus mempunyai kekuatan memaksa. Paksaan ini tertuju kepada para anggota masyarakat dengan tujuan mematuhinya sedangkan hukum adalah Norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan. Yang menjadi permasalahan dalam konstalasi hukum Indonesia terjadi penafsiran yang berbeda terhadap BUMN, hal tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang mengatur dan perbedaan kepentingan terutama bila dikaitkan bahwa BUMN adalah berupa Perseroaan Terbatas yang dikaitkan dengan Hukum Privat sehingga selain mengacu terhadap Undang-Undang no 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga tunduk pada Undang-Undang No 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang no 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pandangan bahwa BUMN adalah ranah hukum privat, yang artinya kekayaan negara hanya merupakan penyertaan modal berpendapat Suatu Badan Hukum yang dibentuk Pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan Negara menjadi kekayaan Badan Hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata. Demikian pula kedudukan hukum pejabat pemerintah yang duduk sebagai Pemegang Saham atau komisaris sama atau setara dengan kedudukan hukum masyarakat biasa atau Pemegang Saham swasta lainnya. Imunitas publiknya sebagai penguasa tidak berlaku lagi dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat meskipun perusahaan tersebut seratus persen milik Negara, Penyertaan modal negara di sebuah korporasi statusnya adalah penyertaan biasa dengan status hukum yang sama dengan penyertaan oleh pihak partikelir lain (swasta). Pandangan tersebut diperkuat dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dimana Persero memiliki tujuan utama mengejar keuntungan dan Perum bertujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Oleh karenanya menjadikan tujuan Badan Usaha Milik Negara tersebut tidak ubahnya atau relatif sama sebagaimana perseroan terbatas swasta lainnya dan pengelolaannya didasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, jika terjadi kerugian di suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian yang disebut sebagai risiko bisnis sebagai badan hukum privat. Pandangan tersebut menurut hemat penulis, kurang tepat, harus dipahami bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjadi instrumen penting dari kebijakan sosial dan ekonomi dalam ekonomi campuran industri dan di negara-negara berkembang. Penggunaan BUMN sebagai instrumen kebijakan publik dan bentrokan yang terjadi antara perusahaan-perusahaan BUMN dan perusahaan swasta di satu sisi dan pemerintah dan pengendali lainnya di sisi lain, yang menyebabkan keprihatinan, sehingga transparansi publik bukan hanya dari angka-angka keuangan tentu sangat diharapkan oleh publik. Banyak cara yang dilakukan pengurus Badan Usaha Milik Negara dimasa lampau untuk memupuk atau menyelematkan kekayaan yang dimilikinya. Praktik-Pratik bisnis yang lazim dilakukan antara lain, penjualan produk/jasa, pembelian barang persedian atau bahan baku, penarikan hutang dan pengaggunan aktiva tetap yang dimilikinya, kerjasama usaha, Penghapusbukuan dan pemindahtanganan Aktiva, restrukturisasi dan privatisasi usaha. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas maka oleh Pemerintah diterbitkan paket Undang-Undang Keuangan Negara dalam rangka pengamanan atas kekayaan Negara yang telah ditempatkan dalam BUMN yaitu berupa Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang no 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara. Adapun tujuan dari dilakukan penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Optimalisasi Barang Milik Negara; b. Mendirikan, mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, dan Badan Hukum lainnya Sedangkan pertimbangan dilakukannya penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Dalam rangka pendirian dan/atau mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; b. Dalam rangka mendukung BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya untuk menjalankan tugas Kewajiban Pelayanan Umum yang diberikan oleh Pemerintah; c. Yang diusulkan merupakan proyek selesai kementerian/lembaga yang dari awal pengadaannya telah diprogramkan untuk diserahkan pengelolaannya pada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; d. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan tersebut menjadi lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya Menurut Pasal 1 Ayat (1) Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam Pasal 2 Ayat huruf(g) dinyatakan bahwa kekayaan negara yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) di atas adalah Kekayaan negara/kekayaan daerah adalah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara secara jelas mennyatakan bahwa kewenangan pemeriksaan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara ada pada Badan Pemeriksa Keuangan, Secara hakiki, sebab kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, maka semua BUMN harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam buku Ekonomi Publik, Leif Johansen disebutkan bahwa semua SOE (State Owned Enterprises) merupakan bagian ekonomi negara, berarti bila Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pemeriksa yang ditunjuk Negara di Indonesia, maka SOE tunduk pada aturan itu. UU Keuangan Negara No 17 tahun 2003 menegaskan itu, dan itu adalah tuntutan dari UUD 1945, di mana keberadaannya dicantumkan dalam pasal 23. Dalam Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 pasal 7 disebut: "Tugas dan Usaha Bank diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan perkembangan ekonomi nasional dengan jalan melakukan usaha bank umum dengan mengutamakan sektor industri". Di sini sebenarnya ada pertentangan internal, sebab Perseroan Terbatas yang merupakan lembaga yang umumnya untuk kepentingan sektor swasta, tidak mengacu pada "perbaikan ekonomi rakyat" tetapi untuk kepentingan para pemodal, tanpa ada kewajibam untuk kepentingan ekonomi rakyat. Bila Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 menyatakan untuk ekonomi rakyat, maka berarti acuan konstitusi untuk itu adalah "Demokrasi Ekonomi" yang didefenisikan "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat". Kondisi tersebut tidak sesuai dengan bentuk Perseroan Terbatas. Satu hal perlu diperhatikan tentang situasi SOE’s di dunia. Di Singapura 60 % Produk Domestik Bruto berasal dari SOE, demikian pula di Taiwan, Korea Selatan, Perancis, dan banyak negara lain. Jadi SOE tidak harus menjadi lembaga swasta untuk mampu berkiprah ekonomi yang prima. Teori privatisasi dari Sappington-Stiglitz menyatakan bahwa swasta tidak merupakan jaminan keberhasilan perusahaan. Kasus lama Enron di AS lalu, berbagai penipuan publik di AS sekitar krisis 2008 adalah buktinya. Banyak yang tidak diketahui publik di Indonesia, bahwa sederet perusahaan pelayan publik di negeri Paman Sam yang tadinya diprivatisasi ternyata kemudian dinasionalisasi, sebab kinerjanya tidak sesuai dengan harapan, dan biaya-biayanya malah jauh lebih tinggi dari yang biasa dilakukan oleh lembaga publik. Berarti SOE tidak selalu mediokre dibanding usaha swasta, dan bila perusahaan tersebut adalah BUMN dengan kekayaan negara yang dipisahkan maka logika dan hakiki masalahnya, harus dibawah pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan selaku Auditor negara hal itu juga berarti kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urus terhadap harta BUMN. Juga memberikan prioritas pengembalian tagihan dalam hal ada pailit, karena dalam undang-undang kepailitan, hak negara mendapat prioritas terlebih dahulu dalam pelunasan dari boedel pailit. Sedangkan dari sisi Pengamanan Keuangan Negara semakin nyata dengan diterbitkannya UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 yang menyatakan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dst.. mengandung arti bahwa UU TPK memiliki substansi yang memandang kerugian dari sisi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kondisi tersebut semakin dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan putusan MK no 003/PUU-PU/2006 tanggal 24 Juli 2006 yang menyatakan: “ Menurut Mahkamah hal demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana pemohon, karena keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana”. Sehingga menurut penulis, amat sangat melukai perasaan rakyat Indonesia apabila BUMN selaku perusahaan negara yang tujuannya sebagai kepanjangan peran negara sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, tanggung jawab pengelolaannya dipisahkan dari keuangan negara.

22 Januari 2013

KETERANGAN AHLI OLEH PEMERIKSA BPK DAN HASIL AUDIT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN

Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut membuat Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru “dikerdilkan” menjadi pulih, dengan terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan BUMD skaligus penentu jumlah kerugian negara. Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta mampu melaporkan fakta secara lengkap. Hasil Pemeriksaan BPK dalam banyak pengalaman, sering dijadikan sebagai Bukti awal dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu pembuktian dalam proses pemeriksaan BPK sangat diperlukan, sehingga bukti tersebut benar-benar valid. Bagaimana pentingnya pembuktian dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana pula ketika hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK menjadi dasar besarnya kerugian negara, Selain itu Pemeriksa BPK sangat sering diminta sebagai keterangan ahli dalam berbagai proses sidang peradilan yang memerlukan kompetensi keahlian keuangan negara. Oleh karena itu pemahaman mengenai definisi Keterangan ahli dan Hasil Audit sebagai alat bukti dalam peradilan akan kita bahas dalam ulasan berikut: Keterangan Ahli Dalam KUHAP, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti untuk mendapatkan kebenaran materiil. bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab pada momen tersebut, hak asasi manusia dipertaruhkan. Oleh karena itulah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil yang diperoleh melalui alat-alat bukti. Dalam menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada, Indonesia menganut sistem pembuktian yang sama dengan Belanda dan negara negara Eropa Kontinental yang lainnya, yaitu hakim dengan keyakinannya sendiri yang menilai alat bukti yang diajukan. Dalam Ilmu hukum, teori pembuktian bisa direpresentasikan dalam 4 golongan sebagai berikut: a. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) atau teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), yaitu pembuktian yang hanya didasarkan hanya kepada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime), yaitu pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hati nurani hakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. c. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (la conviciton raisonnee), dimana hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian, dengan disertai suatu simpulan berlandaskan peraturanperaturan pembuktian tertentu. d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) yaitu pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh oleh alat-alat bukti tersebut. Teori ini dianut KUHAP di Indonesia. Representasi teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia terdapat pada Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk, dan e. Keterangan terdakwa Penempatan keterangan ahli pada urutan kedua setelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undang yang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum, karena pembuat undang-undang menyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian. Dengan demikian, fungsi ahli dalam pembuktian perkara pidana memang sudah dianggap signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan meminta keterangan ahli adalah membuat terang tindak pidana. Dengan mengaitkannya dengan Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 186 KUHAP dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli yang bernilai sebagai alat bukti haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. b. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Pasal 120 KUHAP juga menegaskan pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian memiliki syarat berikut: a. Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.Bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya, berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya”. b. Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau “vrij bewijskracht”. Artinya, nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan tidak melekat kepadanya. Hakim pun tidak terikat untuk menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud dan bebas menilainya. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, keterangan ahli juga harus ditunjang dengan alat bukti lainnya. Hasil Audit sebagai alat bukti Menurut Undang- Undang No 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara definisi Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sesuai definisi tersebut maka penafsiran yang luas atas hasil pemeriksaan adalah hasil pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan laporan keuangan suatu entitas oleh BPK, dimana pemeriksaan dilakukan atas dokumen dan bukti-bukti yang mendukung pengungkapan dalam laporan keuangan. Dari pemeriksaan tersebut BPK akan mengeluarkan pendapat pemeriksaan mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dari bentuk pembuktian, hasil pemeriksaan adalah suatu alat bukti yang termasuk alat bukti tulisan atau surat. Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi dua, yaitu: surat yang diberi tandatangan yang memuat suatu hak atau perikatan yang sejak semula ditujukan untuk pembuktian (akta) dan surat atau catatan yang tidak termasuk dalam golongan akta (disebut sebagai non akta). Akta sendiri dibagi menjadi dua (2) yaitu: akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu oleh penguasa yang mencatat apa yang dimintakan oleh pihak yang berkepentingan (disebut sebagai akta otentik) dan akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dri pejabat (disebut sebagai akta dibawah tangan). Masing-masing akta, non akta, akta otentik dan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang berbeda bagi pengadilan atau hakim sebagai pihak yang akan memeriksa dan mendasarkan putusannya berdasar bukti-bukti tersebut. Tidak ada satu rumusan untuk menggolongkan hasil pemeriksaan BPK termasuk dalam bukti tulisan atau surat yang mana. Satu pihak dapat menganggap hasil pemeriksaan sebagai akta otentik dengan alasan bahwa hasil pemeriksaan adalah suatu pernyataan yang dimintakan oleh auditee (pihak yang berwenang) dan kemudian diberikan oleh pejabat yang berwenang (BPK), maka pengadilan dapat menilai kekuatan pembuktiannya menjadi sah dan meyakinkan, artinya isi atau pernyataan dalam hasil pemeriksaan dan laporan keuangan tersebut diterima sebagai kebenaran, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hasil pemeriksaan juga digolongkan sebagai akta dibawah tangan dengan alasan tidak ada keterlibatan dari notaris, atau pejabat pembuat tanah lainnya. Hasil pemeriksaan mungkin juga dapat digolongkan sebagai non akta, karena hasil pemeriksaan hanya memeriksa laporan keuangan yang berisi pencatatan atau dokumentasi suatu entitas. Intinya suatu pihak dapat menafsirkan dan mengkonstruksikan suatu hasil pemeriksaan dimasukkan dalam golongan apa tergantung dari penafsiran pihak yang bersangkutan. Perlu diperhatikan, disini bahwa hasil pemeriksaan sendiri didasarkan pada laporan keuangan dan dokumen-dokumen pendukung atau catatan-catatan mengenai hal/pristiwa tersebut. Dalam melakukan pemeriksaaan, pemeriksa selain mendasarkan keterangan dari entitas, juga mendasarkan pada dokumen yang disediakan entitas. Selalu terdapat kemungkinan bahwa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan tidak merefleksikan keadaan sebenarnya, karena dokumen-dokumen tersebut bukan sumber hukum yang utama (primary source of law). Artinya laporan keuangan dan hasil pemeriksaan mendasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama. Apabila pernyataan atau isi laporan keuangan hasil pemeriksaan didasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama disajikan sebagai bukti dalam persidangan, besar kemungkinan pihak lawan akan berkeberatan dan dapat membuktikan kenyataan sebaliknya. Dalam membuktikan suatau dalil harus disertai alat bukti tulisan yang merupakan sumber hukum utama, atau dokumen utama. Hasil pemeriksaan atas laporan keuangan dapat dijadikan alat bukti sepanjang isi dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan diperoleh dari sumber hukum utama dan tidak bertentangan dengan isi dari sumber hukum utama. Menjawab pertanyaan bagaimana pengadilan memperlakukan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan sebagai bukti di pengadilan adalah bagaimana suatu pihak menafsirkan hasil pemeriksaan dan bagaimana tanggapan dari pihak entitas terhadap penafsiran pihak pemeriksa. Dalam hukum acara perdata, apabila satu pihak tidak menyanggah dalil yang diajukan pihak lain, maka pihak tersebut dianggap menerima dalil yang diajukan pihak lawan. Selanjutnya apabila suatu pihak yang ingin membuktikan suatu dalil wajib membuktikannya dengan alat bukti (dapat berupa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan).

28 Desember 2010

Bidadari kecilku terlahir kembali


Orang Jawa bilang "Gusti Alloh ora sare" sabaro.. artinya Tuhan Allah tidak pernah tidur jadi sabar saja, pepatah itu baru kurasakan sekarang. Hati yang kemarin begitu pepat bahkan rasanya sudah putus asa karena kepergian bidadari kecilki 'Azka Raddin Savitri" perlahan-lahan mulai mencair.
Allah mendengarkan do'a hambanya, pada tanggal 15 Oktober 2010, kami kembali diberi amanah seorang puteri cantik yang kami beri nama "Aisha Safira Ardhanareswari" Lahir di RS Haji Surabaya dengan berat 3 kg dan panjang 50cm. Tiada syukur yang kami penjatkan selain do'a agar kami lebih bisa menjaga anugerah ini..

16 April 2010

Tulisan sedih


Lama sudah blog ini terbengkalai.. ngga tau, semangat menulis ini memudar dan perlu waktu lebih untuk memulai. Rasa kehilangan puteri tercintaku, Bidadari kecilku “Azka Raddin Savitri” 24 Januari 2010 begitu terasa, bahkan sampai hari ini aku masih berusaha ikhlas menerima. Sesuatu hal yang aku tidak yakin mampu meraihnya.. karena anak itu personifikasi nyata dari harapan-harapanku.
Seorang anak yang begitu sempurna dimataku, dimana aku sempat berfikir, apakah anugrah tersebut tidak berlebihan untukku.. tapi ah.. EngKaulah yang sebenarnya memiliki.. dan aku hanya bisa berdoa agar EngKau sampaikan padanya bahwa Papanya didunia sangat mencintainya, sangat menyayanginya dan selalu berdoa untuknya..
Kupersembahkan puisi Kahlil Gibran ini untukmu Nak..
Terdapat sebuah keluarga
Terdiri dari sang ayah dan ibu serta seorang anak gadis muda
Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu!Ibu!
Mengapa aku dilahirkan wanita?Sang ibu menjawab,
"Kerana ibu lebih kuat dari ayah!
"Sang anak terdiam dan berkata,"Kenapa jadi begitu?
"Sang anak pun bertanya kepada sang ayah
Ayah!
Kenapa ibu lebih kuat dari ayah?
Ayah pun menjawab,"Kerana ibumu seorang wanita!!!
Sang anak kembali terdiam.
Dan sang anak pun kembali bertanya!
Ayah!
Apakah aku lebih kuat dari ayah?
Dan sang ayah pun kembali menjawab," Iya,
kau adalah yang terkuat!"
Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya.
Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain.
Ayah!
Apakah aku lebih kuat dari ibu?
Ayah kembali menjawab,"Iya kaulah yang terhebat dan terkuat!
""Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat?
" Sang anak pun kembali melontarkan pertanyaan.
Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan.
"Kerana engkau adalah buah dari cintanya!
Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam.
Cinta yang dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu!
Dan kau adalah segalanya buat kami.
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami.
Tawamu adalah tawa kami.
Tangismu adalah air mata kami.
Dan cintamu adalah cinta kami.
Dan sang anak pun kembali bertanya!
Apa itu Cinta, Ayah?
Apa itu cinta, Ibu?
Sang ayah dan ibu pun tersenyum!
Dan mereka pun menjawab,"Kau, kau adalah cinta kami sayang.."

21 September 2009

Selamat Idul Fitri 1430 H


Hanya karena tersita tesis dan persiapan ujian komprehensif.. blog ini seperti terlantar, kadangkala banyak yang ingin ku tulis, namun pikiran tersita dan aku merasa begitu kecil bila melihat banyak tokoh yang mampu menulis disaat yang mencekam seperti Anne Frank dalam situasi tekanan Perang Nazi, Tan Malaka dalam pengejaran Interpol Belanda, atau bahkan Ahmad wahib dalam keprihatinan,, aku belum bisa kesana.
Tapi momen Lebaran kali ini tak bisa terlewatkan, dimana keberhasilan Polri dalam "memburu" Noordin M Top layak diapresiasi terlepas perseteruan dengan KPK.. Lebaran saat ini juga terasa lebih berarti dengan kebersamaan antara NU & Muhammadyah yang berlebaran di hari yang sama.. secara pribadi, aku telah berhasil menyelesaikan seminar tesis walaupun masih menunggu ujian komprehensif.. akhirnya saya beserta keluarga mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal 'aaidiin wal faaiziin, kullu 'aamin wa antum bi khoir

21 Juli 2009

UPAYA & KENDALA PEMBERANTASAN KORUPSI DI SURABAYA


Dua permasalahan yang diulas oleh saudara Augustinus Simanjuntak dalam Harian Jawa Pos yaitu dugaan gratifikasi oleh Pemerintah Kota Surabaya terhadap Anggota DPRD Kota Surabaya yang telah memasuki sidang di Pengadilan dan Penyalahgunaan dana Program Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menyisakan sedikit pertanyaan, apakah saudara Augustinus Simanjuntak meyakini hal tersebut sebagai Tindak Pidana Korupsi?.
Makna Suap atau gratifikasi dalam Hukum pidana dikenal ssebagai hadiah atau janji (pasal 209 KUHP, Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP) sedangkan Istilah Jasa Pungut dalam konstalasi Keuangan Negara/Daerah tidak dikenal, yang ada menurut Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan Kepmendagri No 35 Tahun 2002 Tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah sebagaimana diubah Permendagri No 6 Tahun 2004 adalah Biaya Pemungutan yang berarti biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan, hal tersebut berarti biaya pemungutan diberikan kepada aparat pemungut atau yang berkaitan langsung dengan pendapataan atas suatu pungutan tertentu sebagai contoh aparat pemungut pajak daerah seperti Pajak Hotel, Pajak Restaurant, Pajak Penerangan Jalan Raya dan lain-lain.
Pertanyaan apakah DPRD berhak menerima biaya pemungutan?, menurut penulis jawabanya jelas tidak, karena DPRD tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pemungutan, apalagi Kedudukan Keuangan DPRD telah diatur tersendiri dalam PP No 24 Tahun 2004 sebagaimana terakhir telah diubah dalam PP No 21 Tahun 2007 pasal 26 menyebutkan Penganggaran atau Tindakan yang berakibat pengeluaran atas Belanja DPRD untuk tujuan lain dari yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, dinyatakan melanggar hukum apalagi Biaya Pemungutan diberikan dalam rangka kegiatan Pemungutan atau dengan kata lain biaya operasional yang diperlukan dalam rangka kegiatan pemungutan bukan diberikan tunai sebagai tambahan penghasilan.


Kemudian status Keuangan DPRD dalam Keuangan Negara/Daerah, yang harus dipahami adalah pengertian” PNS” dalam UU no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan TPK , dalam perspektif yang lebih luas dalam pasal 2 UU No 3 Tahun 1971 pengertian PNS tersebut juga mencakup orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran dari Negara atau masyarakat termasuk di dalamnya DPRD.
Saya sepakat dengan pernyataan Saudara Augustinius bahwa Koruptor bisa dihukum karena perbuatan tercela karena menyalahgunakan wewenang bisa dilihat dari adanya pelanggaran peraturan dasar tertulis atau pelanggaran terhadap asas kepatutan, pada asas kepatutan dalam menjalankan kebijakan/zorgvuldigheid bisa diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar sehingga kriterianya adalah Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur (Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik), dalam kasus ini kebijakan Pemkot Surabaya baik dalam wijheid maupun overheidsbeleid berupa pengambilan keputusan yang bersifat pernyataan tertulis berupa Perda Kota surabaya No 9 Tahun 2006/Perwali Surabaya No74 Tahun 2006 didasarkan kewenangan yang dimiliki bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik.
Kesulitan yang dialami penuntut umum dalam hal ini kejaksaan dimana UU No 20 Tahun 2001 menyatakan kewajiaban inperatif jaksa untuk membuktikan “materiele daad” atau delik suap dari unsur (bestanddeel delict) yang berhubungan dengan pekerjaan yang yang berkaitan dengan kewenangan (in stijd zijn plicht) dimana terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya bukan suap (pembuktian terbalik), padahal harus dipahami bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan kriminal tingkat tinggi yang serius, dimana pelaku pada umumnya memiliki pendidikan tinggi, pengalaman yang baik dan sangat memahami kelonggaran hukum, Prof Michael Levi dalam buku yang berjudul Regulating Fraud, White Collar Crime and the criminal Process menjelaskan trend baru Crimes by Government yang melibatkan pejabat publik yang sulit dibuktikan, sulit menentukan pelaku dan berlindung dari lemahnya jaustifikasi atas norma legislasi sehingga seringkali tidak tertangkap oleh hukum (offence beyond the reach of the law) sehingga metodik pembuktiannya harus lebih akurat dengan formulasi “jebakan” dan “undercover” karena pada delik suap, tidaklah selalu terikat persepsi pemberian uang, dimana pemberian janji saja sudah merupakan obyek perbuatan suap dan unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU No 31 Th 1999 berarti luas dan dikenal dengan penerapan asas “materiele wederrechtelijk”
Kerumitan penanganan Tindak Pidana Korupsi dalam hal ini Gratifikasi dikarenakan KUHP kita menerapkan prinsip “Nullum delictum, noella poena sine praevia lega poenali” atau perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana, apabila tidak terdapat suatu peraturan perundang-undangan yang mendahului perbuatan tersebut, hal tersebut bisa di buat pemecahannya yaitu dengan The Reversal Burden of Proof (Omkering van het Bewijlast) atau pembuktian terbalik oleh terdakwa bahwa hal tersubut bukan suap, dalam sidang pengadilan sebenarnya telah menjawab hal tersebut, bahwa terdakwa ngotot bahwa perbuatannya tidak melanggar hukum atau dasar hukumnya adalah Perda Kota surabaya No 9 Tahun 2006/Perwali Surabaya No74 Tahun 2006 yang jelas-jelas tidak mengacu ke Peraturan diatasnya.

13 Juni 2009

Maaf


Sehubungan dengan berbagai kesibukan yang harus saya selesaikan terutama penyusunan tesis, dan kesibukan lain, maka dengan sangat menyesal blog ini tidak aktif, apabila nanti memungkinkan segera akan kembali aktif, terima kasih atas atensinya

08 Maret 2009

Ekspektasi Berlebihan (refleksi Islamic Book Fair di Jakarta)


Hari ini penutupan Islamic Book Fair di Jakarta, dengan harapan yang tinggi tadi saya ke Senayan dan bermimpi melakukan wisata rohani dengan bacaan bermutu, “nakal’ dalam artian berani mengajak pembacanya untuk berpikir liar, bebas dan mendalam dalam rangka mereguk kedalaman ilmu berbasis Islami apalagi temanya begitu dahsyat “Islamic Book Fair”
Sayangnya harapan tersebut bagaikan bara api yang dicelupkan ke air, ekspektasi saya terlalu berlebihan, yang saya temukan disana kebanyakan buku-buku yang relatif “provokator” kacangan sehingga banyak yang rata2 dijual tidak lebih dari semangkok bakso di Jakarta..” menyedihkan”, kemudaian juga saya temui buku dengan tema-tema “follower” dari naskah naskah kategori “best seller” selain itu roman-roman ringan dengan menjual aroma agama, distand yang memamerkan Kitab Klasik pun, juga hanya terlihat Kitab-kitab standar seperti Bulughul Maram, Bidayatul Mujtahid dan kitab lain yang mengulas fiqh maupun Kitab-kitab standar pelajaran di IAIN dan berbagai terjemahannya.
Saya berharap tadinya akan bertemu buku-buku pemikir baru sebagai pengganti dari pemikir Islam dari Indonesia yang kreatif seperti Almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur), Jalalluddin Rahmat (Kang Jalal), atau Muhammad Natsir dengan bukunya yang sampai saat ini saya kagumi “Capita Selecta” atau bahkan pemikiran liarnya almarhum Ahmad Wahib dengan Pergolakan Pemikiran Islam, paling tidak pemikiran tokoh baru seperti Azyumardi Azra dan Harun Nasution, atau juga pemikiran menyejukkan dari Quraish Shihab dan Sang Guru spiritual multi agama Anand Khrisna.. bahkan saya sempat berharap disana akan bertemu dengan buku yang selalu saya tunggu dari pemikir muda yang samapi saat ini tidak terdengar menulis Buku yaitu Ulil Abshar Abdalla (mungkin masih sibuk dengan desertasi di Harvard) atau buku2 dari senior saya selama dulu sewaktu kuliah di Gajah Mada atau Ngaji di berbagai pesantren.. karena beberapa diantaranya yang saya yakin memiliki kapabilitas menulis buku lebih senang terjun ke dunia politik “partai” karena mungkin lebih menjanjikan secara ekonomi.
Saya juga berharap tadinya akan bertemu dengan kitab-kitab yang lebih “advanced” seperti karya Ibn Taimiyah, atau pergolakan Pemikiran Abu Hasan Al Asyari minimal Kitab Siyar Mulk karya Nizam Al Mulk Al Tusi yang membahas komunikasi hubungan atau pemikiran kiri dari Hassan Hanafi atau mungkin juga karya intelektual barat tentang Islam, karena bukankah Hassan Hanafi juga lulusan Sorbone Prancis?..
Ekspektasi saya yang langsung padam juga ditambah dengan “miris” pameran sekelas itu dilaksanakan di Senayan dengan kondisi seadanya, sempit, kotor, mushola dadakan yang gak memadai.. sambil berpikir kapan ya Islamic Book Fair dilaksanakan ditempat yang nyaman ber AC sehingga pengunjung nyaman untuk memilih buku.. jangan lupa beberapa tempat yang menyediakan buku berbobot di negeri ini disediakan oleh Umat lain, contohnya di Jogja ada perpustakaan yang buku Islamnya tidak kalah dengan perpustakaan IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) bahkan dulu (sekitar 1993-1995) tempatnya sangat nyaman dan sering jadi referensi bagi mahasiswa IAIN.
Akhirnya saya bermimpi kapan mimpi saya terlaksana..

07 Maret 2009

PAJAK SEBUAH PERSPEKTIF DAN PENGARUHNYA BAGI PEREKONOMIAN


PENDAHULUAN
Pembangunan yang dilaksanakan oleh sebuah negara tidak lepas dari peran dari rakyat, pemerintah serta semua kelompok masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya menyangkut hal-hal fisik belaka, namun juga harus menyangkut hal-hal yang bersifat non fisik atau mental. Kondisi idealnya, pembangunan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat, karena pada hakekatnya pembangunan adalah:
"... multidimensional process involving major changes in social structures, popular attitudes and institutions, as well as the acceleration of economic growth, the reduction of inequality, and eradication of absolute poverty".(Todaro,1989):
Menurut Todaro, tujuan pembangunan adalah:
a. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi dari barang kebutuhan pokok (basic life-sustainin goods), yakni, pangan, pakaian, kesehatan dan periindungan.
b. Meningkatkan taraf hidup (level of living), termasuk peningkatan pendapatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan (self-esteem).
c. Memperluas jangkauan ketersediaan kebutuhan individu dan masyarakat melalui perbaikan dalam pola kerja dan menghindarkan masyarakat dari tekanan dan kesengsaraan hidup.

Beberapa indikator yang sering digunakan dalam melihat keberhasilan pembangunan pada sebuah negara antara lain adalah angka harapan hidup (life expectation), tingkat konsumsi protein per kapita, rasio pendaftaran sekolah dan tingkat konsumsi energi (Todaro,1989).
Secara tradisional, pembangunan ekonomi diartikan sebagai gejala terjadinya peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) dan atau peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan ekonomi juga ditunjukkan dengan adanya perubahan (planned alteration) dari struktur kegiatan produksi serta tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian ke sektor industri manufaktur dan jasa. Hal inilah yang mendasari teori perubahan struktural. Lebih jauh lagi, pembangunan ekonomi harus mampu mengurangi atau menghapus kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran, definisi ini sering kita sebut sebagai redistribution from growth.
Kesalahan besar pembangunan ekonomi yang hanya bertumpu pada pertumbuhan saja adalah diabaikannnya masalah distribusi pendapatan. Studi yang pernah dilakukan oleh Irma Aldelman dan C.Taft Morris pada tahun 1973, serta Hollis B.Chenery dan kawan-kawan pada tahun 1974, menunjukkan kelemahan dari konsep pembangunan tersebut. Oleh karena itu sejak awal dasawarsa 70-an teori pembangunan ekonomi mulai memberikan perhatian pada masalah distribusi pendapatan. Tujuan pembangunan ekonomi tidak lagi hanya mencapai PDB atau Pendapatan nasional yang tinggi, namun harus diikuti dengan pemerataan hasil-hasil yang telah dicapai (growth with redistribution). Namun, bila dikaji lebih lanjut model pertumbuhan dengan pemeraiaan tadi tak lebih hanya menipakan perbaikkan dari model lama. Persepsi desain dan instrumen dalam model baru itu masih tetap menggunakan apa yang dipakai oleh model lama. Maka, yang dapat dilakukan adalah memasukkan unsur pemerataan tadi ke dalam sektor pembangunan yang ditangani pemerintah. Hal ini tidak terlalu sukar dikerjakan, mengingat peranan pemerintah dalam proses pembangunan dl negara-negara berkembang pada umumnya sangat besar (Todaro,1981).
Pentingnya intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian bersumber pada kenyataan bahwa adanya distorsi-distorsi dalam mekanisme pasar antara Iain, diantaranya: kegagalan persaingan dalam mengalokasikann sumber-sumber secara adil ,seperti contoh kasus monopoli alamiah, adanya barang-barang publik murni seperti pertahanan nasional, adanya ekstemalitas, pasar tidak lengkap, kegagalan informasi dan ketidakstabilan perekonomian (Stiglizt, 1986). Intervensi pemerintah dilakukan dalam bentuk pelaksanaan fungsi-fungsi aiokasi, distribusi dan stabilisasi. Di samping itu, pemerintah juga bertugas untuk menciptakan kerangka landasan hukum.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi. Faktor-faktor tersebut dapat dipisahkan menjadi faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi adalah sumber daya alam, akumulasi modal, perlengkapan fisik (physical equipment) dan sumber daya manusia, pertambahan penduduk-termasuk pertumbuhan angkatan kerja (labour force), kemajuan teknologi (technological progress), faktor sarana angkutan dan perhubungan, serta pembagian kerja dan skala produksi. Sedangkan yang termasuk faktor non ekonomi yakni faktor sosial budaya, faktor manusia dan faktor politik serta ammistratif. (Todaro, 1989 dan Jhingan,1990).
Agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan arah dan tujuan yang yang jelas, maka diperlukan suatu perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya pengaruh-pengaruh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Akibat adanya pengaruh-pengaruh tersebut, pada pelaksanaannya seringkali pembangunan tidak berjalan sesuai dengan rencana. Dalam kondisi pembangunan yang tidak pada arah inilah pemerintah memainkan peranannya melalui kebijakan-kebijakan yang ditempuh.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis kebijakan, yaitu; kebijakan fiskal (fiscal policy) dan kebijakan moneter (monetary policy). Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi besarnya pengeluaran agregat (aggregate expenditure) melalui variabel pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) dan variabel pendapatannya. Sedangkan kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan kondisi ekonomi melalui variabel-variabel moneter atau finansial (Dombusch dan Fischer, 1987). Kebijakan moneter berpengaruh lerhadap aktifilas ekonomi secara keseluruhan melalui pasar uang dan pasar modal.
Bagi Negara dalam hal ini Pemerintah, yang menjadi sumber pendapatan utama untuk membiayai kegiatan pemerintah dalam mengambil kebijakan fiskal maupun moneter dan penyediaan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dihasilkan oleh swasta adalah Pajak. Ada bermacam-macam definisi yang dibuat adalah untuk memahami pajak. SaJah satu diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Prof. Dr. PJA. Adriani. (Soemitro, 1987 dan Brotodihardjo, 1989).
"Pajak ialah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapal jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. "
Definisi di atas menggunakan kala "iuran". Beberapa definisi lain menyebutkan kata "bantuan" (Definisi Perancis oleh Beaulieu, 1906; definisi Jerman oleh Deutsche Reichs Abgabena Ordnung, 1919). Ada juga yang menggunakan kalimat "prestasi" kepada pemerintah (Smeets dan Feldmann). Kalimat dapat "dipaksakan" terdapat pada bampir semua definisi. Kalimat yang ada dalam definisi tersebut mengandung arti bahwa bila hutang pajak tidak dibayar, pajak dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, misalnya surat paksa, sita dan penyanderaan. Agar penggunaan istilah paksaan dapat dihindarkan, Dr. Soeparman Soemahamidjaja menggunakan kalimat "iuran wajib" untuk mendefinisikan pajak. Dengan kata "wajib" unsur kesadaran masyarakat ikut diperhatikan.
Sementara itu, definisi-definisi di atas (kecuali definisi yang dikemukakan oleh Soeparman Soemahamidjaja) juga merujuk pada kalimat "tidak adanya jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat dinikmati (ditunjukkan) dari pembayaran pajak". Prestasi dari negara seperti keamanan serta sarana dan prasarana umum dapat dinikmati baik oleh pembayar pajak maupun bukan pembayar pajak. Dr. Soeparman Soemahamidjaja menunjuk pengeluaran-pengeluaran pemerintah untuk keamanan, kesejahteraan, kehakiman pembangunan dan Iain-Iain itu sebagai kontra prestasi yang diberikan pemerinlah karena pajak yang diterima dari masyarakat (Mangkoesoebroto, 1993).
Penyataan bahwa pajak yang diterima kas negara hanya digunakan untuk membayar pengeluaran umum, dewasa ini nampaknya kurang tepat. Kelebihan jumlah yang diterima dari jumlah yang dibayarkan untuk keperluan umum dalam bentuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Oleh sebab itu, dalam bukunya "Pajak dan Pembangunan" Soemitro, telah memasukan unsur tabungan masyarakat {public saving) untuk membiayai investasi masyarakat (public investment) (Soemitro, 1982). Definisi di atas juga mengandung arti bahwa pajak hanya dipandang dari fiingsi anggarannya saja, yaitu sebagai sumber pendapatan pemerintah. Sebetulnya di samping fiingsi anggaran, pajak masih mempunyai fiingsi lain, yaitu fiingsi mengatur perekonomian.
Definisi yang diambil dalam reformasi perpajakan Indonesia sangat menekankan pada unsur kewajiban masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Unsur kekuasaan pemerintah untuk menarik pajak dihindarkan. Pajak diartikan sebagai (Salamun, 1985):
"Perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan pembiayaan negara dan pembangunan nasional guna tercapainya keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik material maupun spriiual"
Tidak seperti definisi-definisi terdahulu, maka pengertian pajak di atas menyebutkan pula tujuan penarikan pajak, yaitu tercapainya keadilan sosial dan kemakmuran yang merata baik material maupun spiritual. Ini berarti fungsi mengatur dari pajak telah tercangkup di dalamnya.

KONSEP PERPAJAKAN
Menurut stuktumya. pajak dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu pajak progresif, pajak proporsional dan pajak regresif. Pajak berstruktur progresif adalah pajak yang tarif pemungutannya berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan wajib pajak. Semakin tinggi kemampuan wajib pajak maka semakin besar pula tariff pajak yang dikenakan kepadanya. contohnya adalah pajak penghasilan pribadi. Bagi masyarakat yang mempunyai pendapatan yang tinggi akan dikenakan pajak dengan tarif yang lebih besar jika dibadingkan dengan golongan masyarakat yang berpendapalan lebih rendah.
Pajak berstraktur proporsional adalah pajak yang tarif pemungutannya sama untuk semua golongan wajib pajak, tidak tergantung pada kemampuan membayar dari wajib pajak. Contohnya adalah pajak pertambahan nilai (PPn) dan Pajak barang mewah. Sedangkan pajak yang berstruktur regresif adalah pajak yang tariff pemungutannya semakin rendah seiring dengan meningkatnya kemampuan wajib pajak, namun secara absolut jumlah pajak yang dibayarnya semakin meningkat.

Pajak Dan Pajak Penghasilan Dalam Arus Sirkuler Ekonomi
Gambar 1.menunjukkan jenis-jenis pajak yang berlaku secara umum di semua negara. Dari gambar tersebut terlihat bahwa rumah tangga yang terdiri dari kumpulan orang-orang dan perusahaan merupakan subjek pajak. Perusahaan dalam pengertian ini mencakup perusahaan yang dimiliki oleh swasta, negara (BUMN) maupun pemerintah daerah (BUMD). Pajak dapat dipungut dari semua jenis kegiatan yang dilakukan oleh subjek pajak tersebut. Oleh karena itu terdapat berbagai jenis pajak sesuai dengan jenis kegiatannya.
Secara umum jenis-jenis pajak tersebut dikelompokkan menjadi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai serta pajak bumi dan bangunan. Termasuk ke dalam jenis pajak penghasilan adalah (1), (3), (4), (5), (6), (7) dan (8); dan termasuk kedalam jenis pajak pertambahan nilai adalah (2). Sedangkan pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang dimiliki oleh rumah tangga atau perusahaan
FUNGSI PAJAK
Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) fungsi pajak dalam pembangunan ekonomi dapat dibedakan atas dua macam, yakni fungsi anggaran (budgetory) dan fungsi pengaturan {regulatory). Fungsi anggaran berarti pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dalam negeri suatu negara yang jumlahnya setiap tahunnya semakin bertambah. Sedangkan fungsi pengaturan berarti pajak dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengatur variabel-variabel ekonomi makro untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang ditargetkan, memperbaiki distribusi pendapafan dan menjaga stabilitas ekonomi melalui pengaturan konsumsi dan investasi masyarakat.
Untuk memenuhi fungsi budgeter pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negara. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin atau pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Fungsi mengatur dari pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemeintah. Sementara itu, kebijakan fiskal pemerintah mempunyai dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaraan. Sisi penerimaan berkailan dengan kebijakan-kebijakan perpajakan itu sendiri.

Fungsi Mengatur
Fungsi mengatur pada sisi ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan di bidang peipajakan untuk mengarahkan kegiatan peiekonomian agar sesuai dengan tujuan tertentu. Kebijakan pembebasan pajak (tax holiday) dan penggunaan tarif khusus merupakan contoh dari fungsi mengatur pada sisi penerimaan. Di sisi pengeluaran, fungsi mengatur berkaitan dengan penggunaan pajak. Seperti telah di uraikan sebelumnya, di samping untuk membiayai kebutuhan rutin yang berhubungan dengan pelaksanaan administrasi negara, uang pajak juga dapat digunakan untuk membiayai pengeluaraan pembangunan. Fungsi mengatur dari pajak dapat dilihat dari arah dan sifat penggunaan uang pajak tersebut, misalkan uang hasil pemungutan pajak digunakan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Pada saat terjadi resesi maka hasil pajak dapat digunakan sebagai stimulus bagi kegiatan ekonomi masyarakat.

Fungsi Alokasi
Pajak juga mempunyai fungsi alokasi dimana penggunaan sumber daya ekonomis nasional untuk tujuan penyediaan barang-barang publik dan barang-barang privaL Pengalokasian penggunaan sumber daya ekonomis untuk penyediaan barang publik dan barang privat juga berarti penentuan pihak yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Barang publik disediakan oleh pemerintah (negara), sementara penyediaan barang privat dapat dilakukan oleh swasta. Adanya penyediaan barang-barang publik oleh pemerintah ini menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan fiskal telah memenuhi fungsi alokasi sumber daya ekonomis dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari konsep penarikan pajak dari masyarakat yang kemudian hasilnya digunakan untuk memproduksi barang-barang publik bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.

Fungsi Distribusi
Pajak juga memiliki fungsi distribusi, Salah satu tugas pemerintah adalah menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Konsep pemerataan hasil pembangunan merupakan dasar dari tugas ini. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan diantaranya adalah perbedaan tingkat pendidikan, keahlian serta kesempalan. Di samping itu, titik awal pemilihan kekayaan juga berbeda antara satu orang dengan yang Iain. Ada orang yang pada awalnya telah memiliki kekayaan yang melimpah karena factor keturunan. Pemilikan kekayaan awal yang berbeda tersebut, pada giliranya mempengaruhi kemampuan menghasilkan pendapatan dikemudian han.
Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah akan selalu di usahakan untuk mencapai pemerataan hasil pembangunan secara lebih adil. Melalui pajak yang di pungut serta penggunaanya secara adil maka pemerataan hasil pembangunan akan dapat dilaksanakan. Selain itu, kebijakan pemungutan pajak yang progresif juga akan lebih meningkatkan usaha pemerataan hasil pembangunan. Pemilihan jenis pajak ang di pungut merupakan cara lain untuk lebih meningkatkan pemerataan. Pajak-pajak berpendapatan tinggi dan diikuti dengan subsidi untuk barang-barang kebutuhan pokok yang di konsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah merupakan contoh kebijakan fiskal yang berdampak positif terhadap pemerataan

Fungsi Stabilitas
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dari pembangunan di samping pemerataan. Pemerintah akan selalu berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu dari tahun ke tahun. Di samping itu, penyediaan lapangan kerja yang cukup juga merupakan sisi lain dari pembangunan ekonomi. Faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya ialah stabilitas harga serta keseimbangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan pekerjaan, stabilitas harga serta keseimbangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran merupakan rangkaian usaha stabilitas yang akan diupayakan oleh pemerintah. Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk upaya stabilitas tersebut.

TEORI PENGENAAN PAJAK
Mengapa dikenakan pajak? Bagaimana pajak itu dibebankan oleh negara kepada Rakyatnya? Dua pertanyaan ini mendasan munculnya teori pengenaan pajak bagi masyarakat (Soemitro, 1982).

Teori Bakri
Teori ini hanya mengatakan bahwa pajak merupakan hak negara. Orang-orang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Mereka harus membentuk persekutuan (organisasi) yang kemudian berubah menjadi sebuah negara. Sebagai persekutuan ia mempunyai hak lerhadap warganya. salah satunya adalah hak memungut pajak. Di lain pihak, pajak menurut teori ini adalah hubungan rakyat dan negara. Persekutuan individu- individu yang menjadi negara merupakan kehendak dari yang bersangkutan. Dalam persekutuan tersebut ada aturan yang mengenai hak dan kewajiban masing - masing pihak. Salah satu hak dari negara adalah memungut pajak. Hal ini erat hubungannya dengan kewajiban yang harus dipenuhi negara. Sebab, untuk memenuhi kewajiban tersebut, negara memerlukan pembiayaan. Uang untuk membiayai semua aktifitas negara ini diambil dari rakyat melalui pajak yang dikenakan.

Teori Asuransi
Menurut teori ini, pajak dapat disamakan dengan asuransi. Dalam bidang asuransi, apabila seseorang ingin memperoleh perlindungan dari resiko kerugian yang mungkin timbul, maka ia dapat pergi ke perusahaan asuransi, kemudian mengasuransikan risiko kerugian tersebut. Untuk itu ia harus membayar premi. Pajak, dalam teori ini, disamakan dengan premi asuransi yang harus dibayar oleh rakyat, untuk memperoleh perlindungan dari negara. Teori ini agak lemah oleh karena dalam hal pajak, perlindungan terhadap kerugian yang diderita rakyat tidak bersifat langsung. Di samping itu, dalam hal timbul kerugian, tidak ada pnggantian dari negara.

Teori Kepentingan
Teori ini mengatakan bahwa pajak dipungut atas dasar kepentingan rakyat untuk memperoleh jasa-jasa yang diberikan pemerintah. Teori ini juga mengandung kelemahan, oleh karena sangat menyimpang dari segi keadilan. Orang miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar terhadap negara, misalnya dalam hal perlindungan dan pelayanan masyarakat. Tetapi, kemampuan mereka untuk membayar pajak tentu lebih rendah. Jadi, kalau membayar pajak didasarkan atas kepentingan, unsur keadilan akan terabaikan. Di samping itu, ukuran untuk kepentingan susah difomulasikan, sehingga susah pula dalam perrhitungan pembebanan pajaknya.

Teori Gaya Pikul
Hampir sama dengan teori kepentingan, teori ini mendasarkan pemungutan pajak pada jasa-jasa yang diberikan negara kepada warganya. Biaya-biaya sehubungan dengan jasa-jasa ini harus dipikul oleh warga negara yang menikmatinya. Pajak adalah pembebanan biaya-biaya itu. Namun teori ini mengemukakan bahwa pembebanan pajak, sesuai dengan keadilan, haruslah mempertimbangkan gaya pikul seseorang. Untuk mengukur gaya pikul dapat digunakan kriteria, selain besamya penghasilan, juga kekayaan dan pengeluaran.

Teori Gaya Beli
Dalam teori ini dikemukakan bahwa pajak dipungut atas dasar kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Menurut teori ini pajak pada hakekatnya adalah memungut gaya beli dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali ke dalam masyarakat. Tujuannya adalah mengatur kehidupan masyarakat dan membawanya ke arah tertentu. Teori ini merupakan dasar bagi keadilan dalam pemungutan pajak.

AZAS PENGENAAN PAJAK
Dalam pemungutan pajak dikenal istilah "Empat Maxim" (Four Maxims). Empat maxim tersebut sebetulnya merupakan ajaran yang termuat dalam buku Adam Smith:
"An Inquiry into (he Nature and Causes of the Wealth of Nations".
Keempat maxim tadi dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

Keadilan (equity)
Pajak harus dibebankan kepada masing-masing subjek pajak sesuai dengan kemampuannya. Negara tidak boleh memberlakukan diskriminasi terhadap wajib dan objek pajak.

Kepastian (certainty)
Pajak-pajak yang dibayar haruslah sudah pasti, terutama mengenai subyek, obyek, besar serta waktunya. Kepastian ini akan mencegah sikap-sikap kompromitis wajib pajak dan kelalaian bagi para penarik pajak (pemerintah).

Ketepatan (convenience)
Pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang tepat terutama bagi pembayarannya. Saat yang tepat ini adalah saat yang paling dekat dengan diterimanya atau dinikmati oleh wajib pajak yang bersangkutan sehingga azas pajak “pay as you earn” sangat tepat untuk pemungutan pajak

Keefesienan (efecieocy)
Pemungutan pajak harus dilakukan secara efesien, artinya perbandingan antara biaya untuk memungut pajak lebih kecil dibandingkan dengan pajak yang diterima oleh kas negara.

Dalam buku-buku tentang hukum pajak terdapat empat azas yang harus dipenuhi dalam setiap pemungutan pajak. Keempat azas tersebut adalah : (a) azas hukum, (b) azas yuridis, (c) azas ekonomi dan (d) azas keuangan. Azas hukum dalam pemungutan pajak mengacu pada keadilan. Seperti telah diuaraikan sebelumnya azas keadilan ini juga dicakup dalam salah satu maximnya Adam Smith. Azas yuridis menghendaki adanya jaminan hukum yang tegas baik untuk negara maupun warganya. Penjabaran dari azas ini adalah bahwa setiap pemungutan pajak harus di dasarkan atas undang-undang. Azas yuridis masyarakat adanya ketentuan yang jelas dan tegas tentang hak dan kewajiban wajib pajak. Demikian juga halnya dengan hak dan kewajiban dari pihak fiskus. Di samping tentang hak dan kewajiban wajib pajak serta fiskus, azas yuridis juga mensyaratkan adanya ketentuan yang tegas dan jelas tenlang terjaminnya rahasia wajib pajak.
Azas ekonomi berkaitan dengan fungsi mengatur dalam perpajakkan. Dalam kaitannya ini pemungutan pajak harus mendorong pertumbuhan ekonomi (dalam arti tidak menghambat kelancaran produksi dan perdagangan). Di samping itu, pemungutan pajak, menuntut azas ini, juga mendorong tercapainya kesejahteraan rakyat dan tidak merugikan kepentingan umum. Azas ekonomi secara keseluruhan serta kepentingan umum. Azas finansial dalam pemungutan pajak berkaitan dengan budgetair dari pajak tersebut, Dalam kaitan ini perhitungan biaya manfaat dalam pemungutan pajak perlu di perhatikan. Azas finansial dapat di katakan hampir sama dengan azas ketepatan (convenience) dan keefesienan (efeciency) pada maximnya Adam Smith.
Musgrave dan Musgrave (1984) menyebutkan beberapa criteria untuk struktur perpajakan yang baik. Kriteria - kriteria tersebut adalah :
• Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus membayar pajak sebesar bagian yang adil baginya(fair share)
• Pajak harus dapat meminimalkan gangguan terhadap keputusan usaha pada dasar perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran (efesien). Jika terjadi gangguan tersebut akan menimbulkan beban lebih. Jika pajak digunakan untuk mencapai tujuan lain, misalnya memberikan insentif terhadap investasi, maka insentif fiskal tersebut tidak boleh menggangu keadilan dalam system perpajakan.
• Struktur pajak harus dapat mendorong insentif fiskal yang mengacu pada stabilitas dan pertumbuhan.
• Sistem administrasi perpajakan yang diterapkan harus dapat menjamin keadilan dan menghindari perlakuan yang sewenang-wenang dari pihak pajak. Sistem administrasi ini harus mudah dimengerti oleh wajib pajak.
• Biaya administrasi dan kepatuhan harus seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai.

ASPEK KEADILAN DALAM PENGENAAN PAJAK
Seperti telah disebut di depan bahwa pajak umumnya dilihat dari aspek efisiensi dan distribusinya. Aspek efisiensi ini dapat dilihat dari jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah apakah ceukup besar atau dari dampaknya terhadap kenaikan jumlah produksi atau penghasilan dalam masyarakat. Dari segi penerimaan pemerintah jelas bahwa pajak progresif memberikan hasil penerimaan pajak yang sangat berarti, dengan catatan kalau wajib pajak tidak terpengaruh dalam hal kemampuan dan kemauannya dalam memiliki obyek pajaknya atau juga tidak terpengaruh dalam hal kemampuan dan kemauannya membayar pajak. Pada umumnya orang atau wajib pajak lebih bersedia (mau) membayar pajak kalau jumlah pajak yang dibayamya keeil jumlahnya. Oleh karena itu sistem pajak progresif akan eenderung mengurangi kemauan orang mem¬bayar pajak semakin tinggi obyek pajak yang dimiliknya. Hal ini berlaku pula untuk pajak burni dan bangunan (PBB) rnaupun pajak penjualan barang mewah, ataupun cukai atau pajak-pajak lain pada umumnnya.
Narnun demikian kalau dilihat dari segi pemerataan atau distribusi pendapatan, pajak progresif itu selalu baik adanya. Sernakin tinggi obyek pajak, yang biasanya juga se¬jalan dengan kernarnpuan rnernbayar siwajib pajak yang semakin tinggi pula (yang da¬pat diukur dari tingkat penghasilan rnereka), maka pajak yang dikenakan juga semakin tinggi. Dengan kata lain yang rendah kernarnpuan membayar pajaknya dikenai per¬sentase pembayaran pajak yang keeil dan semakin besar kemampuan rnernbayar pajak¬nya dikenai pajak yang sernakin besar persentase pernbayaran pajaknya.
Dalam hubungannya dengan pengertian pajak langsung (pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeserkan kepada orang/pihak lain) dan pajak tidak langsung (pajak yang bebaannya dapat digeserkan pada orang/pihak lain), pajak ada yang bersifat langsung rnaupun tidak langsung. Ini berarti bahwa pajaktersebut beban pajaknya ada yang tidak dapat digeserkan kepada orang lain tetapi ada juga yang bebannya dapat digeserkan kepada pihak lain. Dalarn hal pajak langsung seperti pajak kendaraan berrnotor, PBB dan BPHTB, juga pajak reklame, si pemilik obyek pajak itu sendiri yang harus rnemikul beban pajaknya. Dengan kata lain pajak-pajak demikian tidak ada yang bersifat inflatoir atau bersifat tidak rnenaikkan harga barang dalam masyarakat. Tetapi kalau pajak itu bersifat tidak langsung seperti berbagai pungutan yang dikenakan atas dasar unit produksi seperti pajak tontonan, pajak restoran, pajak hotel, pajak bahan bakar kendaraan berrnotor dan lain sebagainya, maka beban pajak tersebut cenderung untuk dapat digeserkan kepada para konsumen dari obyek pajak tersebut.

PRINSIP PENGENAAN PAJAK YANG ADIL (EQUAL SACRIFICE)
Prinsip pengenaan pajak dalam kaitannya dengan aspek keadilan rnengenal dua rnaeam prinsip yaitu prinsip berdasarkan kepuasan atas balas jasa yang diterirna wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemarnpuan rnernayar pajak (ability to pay principle).
Berdasarkan atas rnanfaat yang diterima oleh wajib pajak telah men ern uk an kesulitar. dalam pengetrapannya karena kepuasan wajib pajak itu sulit diukur. Oleh karena itu prinsip ini jarang sekali diterapkan apalagi mengingat bahwa pajak itu merupakan pungutan yang secara langsung tidak dapat ditunjuk balas jasanya. Tampaknya pendekatan atau prinsip berdasarkan manfaat ini lebih tepat digunakan sebagai landasan dalam pengenaan retribusi, karena retribusi mempunyai sifat bahwa pungutannya dikaitkan dengan obyek pajak dan balas jasa yang tamapak dan dapat diukur, seperti dalam hal retribusi jasa-jasa umum maupun jasa-jasa perdagangan ataupun perijinan.
Sekarang khusus kita bicarakan pengenaan pajak atas dasar kemampuan membayar (ability to pay). Sebagai dasar pengenaan pajak atas dasar kemampuan membayar itu adalah tingkat penghasilan wajib pajak, walaupun dalam kenyataannya nanti juga tidak mudah mengukur tingkat pendapatan wajib pajak. Tinggi rendahnya tingkat pendapatan itu akhimya didekati dengan cara menghitung berapa tingkat pengeluaran atau tingkat konsumsi wajib pajak yang bersangkutan. Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan memba¬yar, yaitu equal absolute sacrifice approach, equal proportional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach.
Yang dimaksud dengan pengorbanan (sacrifice) dalam pembayaran pajak adalah sesuatu yang hilang dari wajib pajak baik itu berupa uang dan berupa kepuasan yang hilang. Dalam menilai pengorbanan (sacrifice) untuk menentukan apakah pembayaran pajak itu adil atau tidak digunakan pengorbanan riel (real sacrifice) yaitu pengorbanan dalam bentuk kepuasan yang hilang dan bukan pengorbanan dalam arti uang (money sacrifice). Pengorbanan dalam jumlah uang yang sama yang dibayarkan oleh wajib pajak yang berbeda dapat menghasilkan pengorbanan riel yang berbeda, karena adanya kemampuan membayar pajak yang berbeda-beda pula dilihat dari pendapatannya masing-masing.
Dalam kenyataan tingkat kepuasan marginal dari pendapatan uang yang diterima wajib pajak itu semakin menurun dengan semakin banyaknya pendapatan yang diterima oleh wajib pajak. Dalam hal demikian kita mengenal konsep diminishing marginal utility of money. Jadi semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang akan semakin rendah guna batas (marginal utility) yang diterimanya. Karena itu wajar bila orang kaya diwajibkan untuk membayar pajak dengan jumlah uang yang lebih besar dari pada orang miskin. Bahkan orang miskin dapat dibebaskan dalam membayar pajak dalam batas pendapatan tertentu (pendapatan minimum) untuk mempertahankan tingkat kehidupannya yang layak (subsistence level of income). Di atas pendapatan itu baru jumlah pendapatannya diperhitungkan sebagai dasar pajak.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah besamya pengorbanan riel dari wajib pajak itu yang bagaimana. Bahwa setiap wajib pajak harus memikul beban riel yang sama agar pengenaan pajak itu adil adanya. Untuk itulah kita perlu membahas konsep di atas yaitu: equal absolute sacrifice approach, equal proportional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach.
Dalam konsep equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riel wajib pajak itu secara abolut sarna besamya. Karena uang mempunyai sifat memberikan guna batas marginal yang menurun (dimini¬shing marginal utility), pajak yang dipungut dari para wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya tinggi dan lebih kecil untuk mereka yang peng¬hasilannya rendah sehingga secara absolut beban riel mereka sama besarnya.

DAMPAK PENGENAAN PAJAK
Secara makro pengenaan pajak langsung yang beban pajaknya tidak dapat digeserkan jelas akan mengurangi tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) dan tentu mengurangi tingkat konsumsi masyarakat dan juga tingkat tabungan masyarakat. Turunnya kon-sumsi (C) dan tabungan (S) masyarakat akan ditentukan oleh tingginya hasrat konsums marginal (marginal propensity to consume = mpc) dan hasrat tabungan margine. (marginal propensity to save = mps), di mana mpc + mps = 1. Apabila tingkat konsums masyarakat menurun, maka ini akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat pendapatan dalam perekonomian. Di samping itu perlu disadari bahwa pajak mempunyai pengaruh terhadap kemampuan dan kemauan untuk bekerja, untuk menabung, maupun untuk investasi. Pada umumnya kemauan untuk bekerja itu akan terpengaruh oleh pengenaan pajak bila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan wajib pajak. Kemampuan kerja yang menu¬run berarti akan menurunkan tingkat penghasilan lebih jauh lagi dan akan mempunyai dampak terhadap kegiatan-kegiatan lainnya terutama dalam bentuk penurunan konsumsi barang-barang dan jasa yang lain. Misalnya dengan adanya pajak kendaraan bermotor, berarti mengurangi dana yang dimiliki oleh wajib pajak, sehingga ia terpaksa menye-suaikan pola pengeluarannya sesuai dengan dana yang tersedia setelah kena pajak. Mungkin ia akan mengurangi konsumsi-konsumsi yang dianggap kurang esensial. Namun demikian pada umumnya kemampuan kerja wajib pajak itu akan dipertahankan oleh wajib pajak itu sendiri. Pemerintahpun menyadari akan hal itu, sehingga dalam pengenaan pajak penghasilan ada tingkat penghasilan tertentu yang dibebaskan tidak kena pajak.. Kemampuan untuk menabung berkurang karena bagian pendapatan yang dikonsum¬sikan mungkin bertambah dengan adanya pajak-pajak. Pengenaan pajak akan meningkatkan bagian pendapatan yang dikonsumsikan. Misalnya pengenaan pajak kendaraan bermotor, pengenaan PBB, pengenaan pajak hiburan, pengenaan pajak-pajak lainnya akan meningkatkan beban yang harus ditanggung oleh wajib pajak. Dengan tingkat pendapatan yang sama berarti pengenaan pajak akan mengurangi bagian pendapatan yang ditabung, dan selanjutnya yang dapat diinvestasikan. Mengenai pengaruh pajak terhadap kemauan untuk bekerja memang ada. Semakin besar pungutan pajak yang dikenakan kepada wajib pajak akan mengurangi semangat wajib pajak untuk bekerja, khususnya dalam hal pajak penghasilan. Tetapi dengan pajak kemauan untuk bekerja ini tidak akan banyak terpengaruh. Pengenaan pajak¬ terhadap barang dan jasa seperti pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak tontonan akan mempunyai dampak terhadap tingkat penggunaan atau tingkat konsumsi terhadap barang-barang yang bersangktuan. Wajib pajak akan cenderung mengurangi kemauan untuk mengkonsumsi barang tersebut.
Selain itu banyak literatur menunjukkan pengaruh positif pajak terhadap kinerja perekonomian, antara lain:
• Pajak yang dikenakan pendapatan barang modal menurunkan net rate of return to saving dan mengurangi tingkat tabungan.
• Pajak mempengaruhi investasi secara langsung melalui pengaruhnya terhadap biaya kapital, jika marginal effective tax rates bervariasi pada sektor dan aktivitas produksi, maka efisiensi investasi dapat terpengaruh
• Labor Tax mempengaruhi tingkat penawaran dan permintaan tenaga kerja.
• Progresivitas pajak personal mengurangi investasi pada human capital
Total pengaruh pajak pada pertumbuhan secara signifikan menunjukkan hubungan negative antara tingkat rasio pajak terhadap produk domestic bruto. Pada umumnya tingginya pajak mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Insentif Pajak dan Rent-Seeking Behavior
Teori public choice mengemukakan bahwa proses politik dalam suatu negara dapat merupakan suatu proses yang disebut a complex competitive game (Buchanan, JM. et.al, 1980). Dalam proses politik ini berba¬gai aktor ekonomi berupaya untuk memper¬tahankan dan meluaskan kepentingan masing-masing yang banyak kejadian saling bertentangan. Aktor-aktor ekonomi yang kuat dan menguasai dana yang banyak dapat melakukan kegiatan-kegiatan lobbying un¬tuk mempengaruhi para pembuat undang-¬undang dan peraturan dan terutama sekali dapat mempengaruhi para birokrat.
Insentif pajak, tarif khusus yang ber¬sifat protektif, pengelakan tarif dan berbagai jenis premium di bidang transaksi interna¬sional dan transaksi lainnya merupakan contoh-contoh obyek kegiatan lobbying se¬hingga menimbulkan pergeseran pendapatan secara drastis untuk keuntungan para aktor yang berhasil memenangkan permainan. Dalam suasana seperti ini, para birokrat dan para pengambil keputusan tidak lagi meru¬pakan pihak-pihak yang bebas dari kepen¬tingan pribadi. Mereka tidak lagi merupakan pihak-pihak yang netral untuk mengabdi bagi kepentingan publik. Sebaliknya, mereka ini telah tampil sebagai aktor-aktor tersendiri dengan tujuan-tujuan yang bersifat melayani kepentingan mereka. Untuk ini mereka mempunyai agenda-agenda operasi tersendiri dalam kancah public policy arena. Salah satu agenda yang paling sengit untuk mereka perjuangkan ialah memperbesar anggaran belanja di bawah kekuasaan mereka. Makin besar volume anggaran belanja operasi, maka makin lancar dan kokoh proses untuk mempromosikan keku¬atan mereka. Anggaran belanja yang mem¬perbesar bukan merefleksikan niat untuk pengabdian yang lebih luas bagi kepenti¬ngan publik tetapi lebih merefleksikan niat untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Ke¬seluruhan proses yang diuraikan di atas telah menjadi landasan bagi Mancur Olson (1982) untuk mencetuskan konsep yang disebutnya distributional coalition. Koalisi ini merupa¬kan suatu jaringan mirip kartel (cartel-like network) yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin bagi ang¬gota-anggota kertel yang terdiri dari aktor¬aktor yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam proses jaringan ini, jelas kepentingan publik dikorbankan. Kegiatan pencarian rente ekonomi (rent-seeking activity) adalah merupakan kegiatan yang secara sosial tidak produktif dan bahkan socially wasteful. Se¬cara makro, ini semua mengakibatkan ber¬tambahnya transaction costs diluar kewaja¬ran. Proses ini sangat banyak bertanggung¬jawab terhadap terjadinya tekanan inflasi dalam ekonomi. Apa implikasi uraian yang dikemu¬kakan di atas yang berdasarkan teori public choice terhadap kebijakan insentif pajak dilaksanakan di Indonesia? Untuk menjelas¬kan implikasi ini, terlebih dahulu harus dia¬kui bahwa masyarakat ekonomi kelas atas di Indonesia merupakan masyarakat pencari rente ekonomi. Komponen rent-seeking so¬ciety sangat menentukan dalam proses eko¬nomi Indonesia. Dalam suasana seperti ini, maka sangatlah tidak mungkin untuk mengharapkan hadirnya insentif pajak yang mengabdikan kepada pilihan publik atau kepentingan publik jib kebijakan insentif pajak ini merugikan kepentingan para aktor yang membentuk distributional coalition dalam Indonesia's rent-seeking society. Diperkirakan, deregulasi yang bertujuan untuk menciptakan mekanisme pasar demi berlangsungnya pilihan publik dapat diakomodasikan secara wajar dan optimal, akan mengalami halangan. Halangan akan datang dari para aktor yang membentuk jaringan mirip kartel seperti yang dikemukakan Mancur Olson oleh karena mekanisme pasar yang sebenarnya (genuine market mecha¬nism) akan merugikan mereka. Kompetisi yang wajar yang berjalan atas dasar infor-masi yang terbuka untuk semua orang, dan pelayanan yang sarna dari segi undang¬undang dan peraturan untuk semua orang, jelas merupakan penghalang utama untuk kegiatan pencarian rente-ekonomi. Implikasi kebijakan untuk melaksa¬nakan deregulasi ekonomi untuk tujuan pe¬layanan pilihan publik yang maksimum mengandung pengertian penertiban luar biasa terhadap perilaku melembaga dalam :nasyarakat Indonesia. Dan penertiban ini adalah meruapakan suatu program aksi yang menyangkut rekonstruksi politik. Peraturan¬peraturan yang transparan hanya dapat efek-tif untuk menjamin berlangsungnya pilihan Dublik jika terdapat suatu tatanan politik yang betul-betul demokrtis di mana sistem cheks and balances berjalan sehingga menimbulkan tradisl kebijakan publik yang bersih. Kebijakan publik yang sepeni inl merupakan kebijakan publik yang punya nubungan organik dengan masyarakat yang dilayaninya. Ada dua kondisi utama bagi menjelmanya kebijaksanaan publik yang seperti ini. Pertama, adanya kepemimpinan politik yang responsif (responsive political leadership) yang accountable terhadap po¬iltical masters yaitu rakyat. Kedua, adanya suatu konsensus sosial mengenai tujuan¬-tujuan pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai etis yang berlaku dalam masyarakat. Interaksi antara kedua kondisi ini akan dapat menjamin terlaksananya kebijkan pembangunan yang bukan hanya mampu menimbulkan pertumbuhan tetapi juga mampu menghasilkan sistem penghargaan yang adil terhadap jasa-jasa yang diberikan oleh berbagai aktor ekonomi.