21 Juli 2009

UPAYA & KENDALA PEMBERANTASAN KORUPSI DI SURABAYA


Dua permasalahan yang diulas oleh saudara Augustinus Simanjuntak dalam Harian Jawa Pos yaitu dugaan gratifikasi oleh Pemerintah Kota Surabaya terhadap Anggota DPRD Kota Surabaya yang telah memasuki sidang di Pengadilan dan Penyalahgunaan dana Program Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menyisakan sedikit pertanyaan, apakah saudara Augustinus Simanjuntak meyakini hal tersebut sebagai Tindak Pidana Korupsi?.
Makna Suap atau gratifikasi dalam Hukum pidana dikenal ssebagai hadiah atau janji (pasal 209 KUHP, Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP) sedangkan Istilah Jasa Pungut dalam konstalasi Keuangan Negara/Daerah tidak dikenal, yang ada menurut Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan Kepmendagri No 35 Tahun 2002 Tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah sebagaimana diubah Permendagri No 6 Tahun 2004 adalah Biaya Pemungutan yang berarti biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan, hal tersebut berarti biaya pemungutan diberikan kepada aparat pemungut atau yang berkaitan langsung dengan pendapataan atas suatu pungutan tertentu sebagai contoh aparat pemungut pajak daerah seperti Pajak Hotel, Pajak Restaurant, Pajak Penerangan Jalan Raya dan lain-lain.
Pertanyaan apakah DPRD berhak menerima biaya pemungutan?, menurut penulis jawabanya jelas tidak, karena DPRD tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pemungutan, apalagi Kedudukan Keuangan DPRD telah diatur tersendiri dalam PP No 24 Tahun 2004 sebagaimana terakhir telah diubah dalam PP No 21 Tahun 2007 pasal 26 menyebutkan Penganggaran atau Tindakan yang berakibat pengeluaran atas Belanja DPRD untuk tujuan lain dari yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, dinyatakan melanggar hukum apalagi Biaya Pemungutan diberikan dalam rangka kegiatan Pemungutan atau dengan kata lain biaya operasional yang diperlukan dalam rangka kegiatan pemungutan bukan diberikan tunai sebagai tambahan penghasilan.


Kemudian status Keuangan DPRD dalam Keuangan Negara/Daerah, yang harus dipahami adalah pengertian” PNS” dalam UU no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan TPK , dalam perspektif yang lebih luas dalam pasal 2 UU No 3 Tahun 1971 pengertian PNS tersebut juga mencakup orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran dari Negara atau masyarakat termasuk di dalamnya DPRD.
Saya sepakat dengan pernyataan Saudara Augustinius bahwa Koruptor bisa dihukum karena perbuatan tercela karena menyalahgunakan wewenang bisa dilihat dari adanya pelanggaran peraturan dasar tertulis atau pelanggaran terhadap asas kepatutan, pada asas kepatutan dalam menjalankan kebijakan/zorgvuldigheid bisa diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar sehingga kriterianya adalah Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur (Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik), dalam kasus ini kebijakan Pemkot Surabaya baik dalam wijheid maupun overheidsbeleid berupa pengambilan keputusan yang bersifat pernyataan tertulis berupa Perda Kota surabaya No 9 Tahun 2006/Perwali Surabaya No74 Tahun 2006 didasarkan kewenangan yang dimiliki bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik.
Kesulitan yang dialami penuntut umum dalam hal ini kejaksaan dimana UU No 20 Tahun 2001 menyatakan kewajiaban inperatif jaksa untuk membuktikan “materiele daad” atau delik suap dari unsur (bestanddeel delict) yang berhubungan dengan pekerjaan yang yang berkaitan dengan kewenangan (in stijd zijn plicht) dimana terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya bukan suap (pembuktian terbalik), padahal harus dipahami bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan kriminal tingkat tinggi yang serius, dimana pelaku pada umumnya memiliki pendidikan tinggi, pengalaman yang baik dan sangat memahami kelonggaran hukum, Prof Michael Levi dalam buku yang berjudul Regulating Fraud, White Collar Crime and the criminal Process menjelaskan trend baru Crimes by Government yang melibatkan pejabat publik yang sulit dibuktikan, sulit menentukan pelaku dan berlindung dari lemahnya jaustifikasi atas norma legislasi sehingga seringkali tidak tertangkap oleh hukum (offence beyond the reach of the law) sehingga metodik pembuktiannya harus lebih akurat dengan formulasi “jebakan” dan “undercover” karena pada delik suap, tidaklah selalu terikat persepsi pemberian uang, dimana pemberian janji saja sudah merupakan obyek perbuatan suap dan unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU No 31 Th 1999 berarti luas dan dikenal dengan penerapan asas “materiele wederrechtelijk”
Kerumitan penanganan Tindak Pidana Korupsi dalam hal ini Gratifikasi dikarenakan KUHP kita menerapkan prinsip “Nullum delictum, noella poena sine praevia lega poenali” atau perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana, apabila tidak terdapat suatu peraturan perundang-undangan yang mendahului perbuatan tersebut, hal tersebut bisa di buat pemecahannya yaitu dengan The Reversal Burden of Proof (Omkering van het Bewijlast) atau pembuktian terbalik oleh terdakwa bahwa hal tersubut bukan suap, dalam sidang pengadilan sebenarnya telah menjawab hal tersebut, bahwa terdakwa ngotot bahwa perbuatannya tidak melanggar hukum atau dasar hukumnya adalah Perda Kota surabaya No 9 Tahun 2006/Perwali Surabaya No74 Tahun 2006 yang jelas-jelas tidak mengacu ke Peraturan diatasnya.