01 Maret 2008

Menyoal Pilkada dan Penghasilan Kepala Daerah


Negara kita saat ini mengalami babak baru dalam demokrasi, dengan diberlakukanya otonomi daerah, pemilihan langsung pemimpin baik Presiden maupun Kepala Daerah memberikan ciri khas negara demokrasi yang belum pernah terjadi di negara ini.
Namun dalam prosesnya banyak hal yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, baru-baru ini mengenai hasil Pilkada di Provinsi Sulawesi Selatan dimentahkan oleh Mahkamah Agung sehingga harus dilakukan penghitungan ulang yang berbuntut demo dan ketidakpercayaan terhadap hasil pelaksanaan Pilkada yang menimbulkan upaya Peninjauan Kembali, sebelumnya Di Maluku Utara berbuntut kerusuhan bahkan Pejabat di Maluku Utara belum definitif sehingga diambil alih oleh Pemerintah Pusat, juga kasus Pilkada di Depok yang menyulut kontroversi sehingga Nurmahmudi Ismail ditetapkan menjadi walikota Depok dengan ketetapan Mahkamah Agung, sedangkan di Tuban terjadi kerusuhan yang mengakibatkan pengrusakan atas aset kekayaan bupati terpilih.
Kondisi diatas terjadi dikarenakan terutama adanya ketidakpercayaan terhadap hasil perhitungan Pilkada yang mengecewaan salah satu calon Kepala Daerah yang akhirnya memicu ketidakpuasan pendukung yang bersangkutan yang akhirnya menyulut demo dan kerusuhan, kalau ditelaah lebih dalam siapapun pemenang Pilkada tidak berpengaruh secara langsung ke masyarakat sebab siapapun Kepala Daerahnya begitu terpilih seharusnya menanggalkan baju politiknya dan menjadi pemimpin semua unsur masyarakat, lantas siapa yang dirugikan dari ketidakterpilihnya suatu calon? Rakyat bisa menilai sendiri
Sebenarnya apa enaknya menjadi Kepala Daerah? Seberapa besar penghasilan yang diperoleh? Menurut Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menyebutkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan masing-masing sebuah rumah dinas beserta perlengkapan dan biaya pemeliharaannya, sebuah kendaraan dinas dan biaya pemeliharaannya (ingat hanya sebuah kendaraan dinas), biaya rumah tangga, inventaris rumah jabatan, biaya pemeliharaan kesehatan seluruh keluarga, biaya perjalanan dinas, biaya pakaian dinas dan biaya penunjang operasional sehingga semua kebutuhan Kepala Daerah dari Rumah Tangga, Mobilitas, Kesehatan dan Operasional telah terjamin, Namun perlu diketahui semua fasilitas tersebut hanya berlaku selama menjabat, apabila jabatannya habis semua fasilitas tersebut dihentikan dan semua inventaris baik berupa kendaraan dinas, rumah jabatan beserta perlengkapan harus dikembalikan ke daerah.
Sedangkan Penghasilan yang berhak dibawa pulang oleh Kepala Daerah berupa gaji pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya. Sesuai Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2000, Gubernur memperoleh gaji pokok sebesar Rp 3 Juta per bulan dan Wakilnya Rp 2,4 Juta per bulan sedangkan Bupati/Walikota mendapatkan gaji pokok per bulan Rp 2,1 Juta dan wakilnya memperoleh Rp 1,8 Juta. Menurut Keputusan Presiden No 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara, Gubernur mendapatkan Tunjangan Jabatan per bulan Rp 5,4 Juta dan Wakilnya adalah Rp 4,32 Juta sedangkan Bupati/Walikota mendapatkan Tunjangan Jabatan per bulan Rp 3,75 Juta dan wakilnya sebesar Rp 3,24 Juta sedangkan Tunjangan Lain berupa Tunjangan Keluarga dan Beras adalah sebesar 15% dari gaji pokok sehingga rata-rata Penghasilan Total Gubernur Rp 9 Juta/bulan, wakilnya Rp 7,5 Juta/bulan sedangkan Bupati/Walikota sebesar Rp 6,5 Juta/bulan dan wakilnya sebesar Rp 6 Juta/bulan. Jika masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah selama 5 tahun maka total Penghasilan Gubernur hanya Rp 540 Juta dan wakilnya Rp 450 Juta sedangkan Bupati/Walikota sebesar Rp 390 Juta dan wakilnya Rp 360 Juta. Sebuah Penghasilan yang sebenarnya tidak besar apalagi dibandingkan dengan penghasilan Direksi BUMN yang mencapai ratusan Juta bahkan Milyaran setiap tahun atau Penghasilan Pejabat Negara dan Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat, anggota DPR atau bahkan lebih sedikit dari anggota DPRD yang telah mendapatkan tunjangan komunikasi intensif.
Permasalahanya sekarang untuk mencapai jabatan Kepala Daerah banyak yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk kampanye Pilkada baik biaya operasional maupun biaya dukungan dari partai pendukung yang mencalonkan, sedangkan penghasilan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan sehingga banyak Kepala Daerah melakukan korupsi baik yang sistematis dengan mengeluarakan biaya-biaya operasional sebagai penghasilan seperti biaya pemungutan, insentif dan uang perangsang maupun secara vulgar dengan mark up pengadaan barang dan jasa, kolusi dan proyek fiktif. Dalam tahun 2007 saja, tercatat banyak Kepala Daerah yang berurusan dengan Pengadilan Tipikor diantaranya Bupati Kutai Kertanegara, Bupati Kendal, Walikota Medan, Mantan Gubernur Kalimantan Selatan, Mantan Gubernur Kalimantan Timur dan lain-lain yang bahkan beberapa diantaranya divonis bersalah.
Lantas kenapa banyak orang mau mendukung seseorang menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan mengeluarkan dana besar untuk kampanye? Yang pertama jelas adanya kepentingan golongan baik itu partai dengan harapan orang-orang partai menduduki posisi strategis dalam pemerintahan yang kedua adalah pendukung di belakang seperti pengusaha penyandang dana yang berharap mendapatkan proyek maupun kemudahan dalam usaha, sedangkan rakyat? Seperti biasa hanya pelengkap penderita yang sering akibat gejolak sosial seperti yang terjadi diberbagai daerah.
Dengan kondisi tersebut menjadi tugas kita untuk mengawasi Pilkada, perlu diingat opportunity cost dari penyelenggaraan Pilkada sangat tinggi sehingga perilaku Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus kita pantau yang pertama jelas dari kenaikan kekayaan yang diperoleh selama menjabat apakah patut dan sesuai dengan ketentuan, kemudian pelaksanaan pembangunan apakah hanya bergerak pada lingkaran kekuasaan (pendukung Kepala Daerah) karena DPRD sebagai alat kontrol menjadi kurang efektif apabila dikaitkan sebagai partai pendukung Pilkada.

Tidak ada komentar: