11 November 2008

Dampak Subprime Mortgage bagi Perekonomian Indonesia


Kronologis Krisis Subrime Mortgage
Rendahnya suku bunga di AS dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2004, melonggarnya ketentuan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan persaingan antara lembaga penyalur kredit, telah meningkatkan penyaluran KPR ke masyarakat dengan creditworthiness yang rendah (subprime borrower). Penyaluran KPR untuk nasabah subprime yang pada tahun 2002 hanya mencapai $213 miliar, meningkat menjadi $665 miliar pada tahun 2005. Di pihak lain, sekuritisasi dengan agunan berbasis KPR subprime terus meningkat melalui financial engineering yang dikemas dalam bentuk Asset Backed Securities (ABS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO).
Besarnya potensi keuntungan yang diraih dari sekuritisasi subprime mortgage mendorong beberapa lembaga keuangan besar masuk bisnis ini termasuk Bear & Sterns, HSBC, dan Citigroup. Kemasan produk CDO menjadi semakin menarik karena memperoleh rating yang tinggi dari lembaga pemeringkat termasuk Standard and Poor's dan Moody's. Imbal hasil yang tinggi juga menarik minat investor dari banyak negara untuk membeli CDO tersebut. Selama tahun 2003-2007 penerbitan ABS dan CDO yang beragunan subprime mortgage meningkat tajam sehingga pada tahun 2006 mencapai lebih dari $450 miliar.
Mengapa bisnis yang terkait subprime mortgage cepat berkembang menjadi krisis global? Sebagian besar dari KPR menggunakan Adjustable Rate Mortgage (ARM) yang suku bunganya tetap pada beberapa tahun pertama dan selanjutnya menyesuaikan dengan suku bunga pasar. Dengan risiko kredit nasabah subprime yang cukup tinggi maka suku bunga yang dibebankan adalah ARM ditambah margin tertentu.
Sejalan dengan tren suku bunga yang meningkat sejak pertengahan tahun 2004, beban pembayaran angsuran nasabah subprime menjadi semakin berat. Hal itu menyebabkan mereka tidak lagi mampu membayar sehingga menimbulkan kredit macet yang terus meningkat. Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar. Pada pertengahan tahun 2007, akumulasi permasalahan kredit macet sektor perumahan di AS memuncak dan akhirnya menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Kredit macet yang meningkat tinggi menyebabkan investor menilai ulang investasinya di CDO karena semakin menurunnya nilai agunan dari surat berharga tersebut. Harga CDO pun merosot tajam. Sementara itu, rentetan kerugian yang dialami lembaga penyalur KPR mengakibatkan harga sahamnya juga berjatuhan di bursa saham AS yang merembet ke seluruh saham di sektor keuangan terutama perbankan.
Kejatuhan harga saham di AS pada gilirannya berimbas dalam skala global terutama harga saham lembaga keuangan di luar AS yang memiliki eksposur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terhadap CDO. Investor global yang menyadari memiliki eksposur terhadap CDO juga serentak menilai ulang risiko investasinya (repricing of risk). Akibatnya, terjadi pengalihan dana besar-besaran dari aset keuangan yang dipandang berisiko ke aset yang relatif aman seperti obligasi pemerintah AS (flight to quality).
Krisis kepercayaan terhadap CDO meluas sehingga menyebabkan lembaga keuangan penyalur KPR dan perusahaan penerbit commercial paper yang beragunan aset atau 'Asset Backed Commercial Paper' (ABCP) semakin sulit memperoleh dana di pasar kredit. Hal tersebut terjadi karena investor banyak yang menolak memperpanjang penempatan dana di ABCP. Sektor perbankan sebagai penjamin ABCP harus mengambil alih pemenuhan dana dari penyalur KPR yang pada gilirannya membebani neraca bank. Perkembangan tersebut menyebabkan ketatnya pasar uang antarbank khususnya yang bertenor 3 bulan. Langkah Federal Reserve menurunkan suku bunga pada Agustus 2007 dan injeksi likuiditas melalui koordinasi dengan sejumlah bank sentral lain dalam jumlah besar hanya mampu meredam gejolak pasar keuangan sesaat.
Kejatuhan harga rumah yang terus berlanjut, ketidakstabilan di pasar keuangan, dan ketatnya standar penyaluran KPR pada gilirannya menekan konsumsi masyarakat AS. Selain itu, sektor manufaktur juga mulai terkena imbas dari melemahnya konsumsi sehingga mendorong gelombang pemutusan hubungan kerja. Di pihak lain, sejumlah lembaga keuangan termasuk bank-bank investasi AS terkemuka melaporkan kerugian yang cukup besar dari bisnis CDO dan sampai akhir tahun 2007 total kerugiannya melampaui $100 miliar. Menjelang akhir tahun 2007 ekonomi AS pun semakin dibayangi resesi sehingga tekanan di pasar keuangan global terus berlanjut.
Bergejolaknya pasar keuangan global akibat efek lanjutan krisis subprime mortgage menyebabkan investor global serentak melakukan penilaian ulang terhadap profil risiko investasinya. Penarikan dana dari investasi di pasar keuangan negara berkembang yang dipandang berisiko pun meningkat sehingga menimbulkan tekanan terhadap mata uang di sebagian besar negara tersebut. Selain itu, penarikan dana investor global tersebut merupakan upaya untuk menutup kerugian dari investasinya di pasar keuangan negara maju yang jatuh tajam.
Krisis tersebut berkembang menjadi krisis global, bahkan ada ketakutan akan terulang resesi tahun 1929 (great depression), sehingga Pemerintah Amerika Serikat menyuntik dana penyelamatan (bail out) sebesar US$700 Milyar pada awal Oktober 2008, sedangkan di Eropa Negara-Negara Maju segera berbenah, Inggris menjamin semua simpanan di Bank yang kemudian diikuti Jerman mengingat besarnya dampak krisis yang ditimbulkan oleh subprime mortage.
Di Amerika Serikat sendiri perusahaan-perusahaan besar bertumbangan, CEO Lehman Brothers Inc. Richard Fuld yang selama ini hidup mewah, harus menelan kepahitan dalam sekejap, 3 juta sahamnya yang sekitar 9 bulan lalu bernilai US$16,8 Juta hanya dihargai US$500 ribu yang akhirnya colap, Bear Stearns Inc. rugi US$19,8 Juta, Merrill Lynch Inc. rugi US$52 Juta, Morgan Stanley Inc. rugi US$11 Juta dan AIG rugi sebesar US$80 Juta yang akhirnya bangkrut. Turbulensi sektor financial juga mengambrukkan korporasi keuangan kelas dunia di Eropa seperti Northern Rock, Fortis, Bradford and Bingley, HBOS dan Bank Hypo Real, selain itu hamper semua indeks saham dunia jatuh berguguran dan likuiditas dunia mengering.
Langkah Indonesia dalam menghadapi Krisis
Lembaga keuangan di Indonesia teridentifikasi tidak memiliki eksposur terhadap surat berharga beragunan subprime mortgage. Meskipun demikian, gejolak pasar keuangan global yang dipicu krisis subprime mortgage telah meningkatkan volatilitas dan ketidakpastian sehingga mendorong arus keluar dana asing dari instrumen investasi rupiah. Dalam kondisi pasar keuangan global yang bergejolak investor cenderung menyelamatkan dananya dengan menghindari instrumen investasi berisiko (risk aversion), termasuk instrumen yang diterbitkan emerging markets seperti Indonesia.
Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, risk appetite investor global terhadap aset emerging markets menurun seperti tercermin dari meningkatnya spread EMBIG (Emerging Market Bond Index Global) terhadap US Treasury Bond. Perkembangan risk appetite tersebut juga berkorelasi kuat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Hal tersebut tercermin pada melebarnya spread EMBIG yang diikuti dengan tekanan depresiasi terhadap rupiah.
Arus keluar dana asing mengalami eskalasi sejak Juni 2007 dan berlanjut hingga Agustus 2007, yang menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Penarikan dana investasi asing dari pasarkeuangan Indonesia sebagian berasal dari SBI dan obligasi negara. Meskipun demikian, investasi asing di bursa saham masih terus masuk. Setelah itu arus dana keluar mereda, bahkan kembali masuk dalam jumlah besar setelah The Fed menurunkan Fed Fund Rate sebesar 50 basis poin pada 18 September 2007.
Krisis subprime mortgage ternyata lebih dalam dan luas dari yang diperkirakan semula. Pada November 2007 pasar keuangan kembali bergejolak karena krisis sektor perumahan yang berkembang menjadi krisis likuiditas dan kredit semakin mendorong perekonomian AS ke arah resesi dan disertai dengan terjadinya rangkaian kerugian sejumlah lembaga keuangan besar. Bersamaan dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia mendekati $100 per barel, perkembangan tersebut kembali mendorong arus keluar dana asing.
Berbagai indikator ini menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan beberapa hari terakhir. Rupiah terus melemah melebihi 300 poin dan ditutup pada angka Rp9.560 per dollar AS, setelah pada perdagangan pada 7 Oktober 2008 sempat diperjualbelikan pada kisaran Rp9.700 per dollar AS bajkan sempat menyentuh Rp11.000 per USD. Demikian juga, bursa saham domestik terus melemah dan jatuh lebih dari 40 persen dalam beberapa minggu terakhir. Pelemahan ini adalah yang terburuk dalam skala global, bahkan bila dibandingkan kejatuhan bursa saham di episentrum krisis global kali ini (AS).
Kenaikan yield obligasi negara dalam satu bulan pun (5 September - 6 Oktober 2008) mencapai di atas 50 basis poin untuk semua jenis obligasi. Pada saat yang sama, yield curve terus bergerak naik, yang menandakan adanya peningkatan premi resiko untuk jangka lebih panjang dan sentimen pasar yang memburuk. Konsekuensi dari hal ini adalah semakin tergerusnya nilai aset lembaga keuangan. Sebab yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Sehingga kenaikan yield menyebabkan turunnya nilai obligasi, dus aset lembaga keuangan.
Terlepas dari beberapa indikator tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia mengatakan bahwa sistem keuangan nasional adalah cukup kuat. Dua hal yang kerap disebut-sebut sebagai indikator ketahanan sistem keuangan ini adalah nilai cadangan devisa dan rasio kredit terhadap PDB. Cadangan devisa saat ini memang telah mencapai sekitar 58 milyar dollar (13.5 persen terhadap PDB), yang berarti lebih dari 3 bulan impor. Angka ini jauh lebih dari saat krisis 1997/98 diamana cadangan devisa berkisar 10 milyar dollar (6 persen PDB). Demikian pula, dari kriteria tradisional, angka ini memang dapat dikatakan aman. Akan tetapi benarkah demikian?
Dalam kajian mutakhir, ukuran tradisional 3 bulan impor tidak lagi bisa dijadikan patokan ketahanan sistem keuangan. Alasannya, dalam satu krisis pergerakan kurs dan pelarian modal akan sangat cepat dan menyebabkan tergerusnya nilai riil dari cadangan devisa secara instan. Untuk Indonesia, hal ini juga ditambah lagi dengan fakta bahwa separuh dari cadangan devisa Indonesia didenominasikan dalam aset berdenominasi dollar AS, seperti US treasury bond yang nilainya saat ini terus tertekan. Begitu juga, secara relatif, nilai cadangan devisa nasional sesungguhnya tidak terlalu mengesankan dibandingkan dengan negara-negara lain. Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan cadangan devisa nasional adalah aman.
Hal ini ditambah pula dengan peningkatan drastis jumlah hutang, baik pemerintah maupun swasta, dalam beberapa tahun terakhir. Nilai obligasi swasta bukan jasa keuangan dalam US dollar tercatat meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan nilai yang ada pada krisis 1997/98, demikian pula pinjaman dalam mata uang asing oleh lembaga swasta non jasa keuangan yang tumbuh hampir sama cepat dengan peningkatan kredit dalam rupiah.
Posisi Kredit Perbankan Nasional, LDR rupiah sudah mencapai 70 persen (Per Agustus 2008), sehingga ceteris paribus LDR riil bisa mencapai angka 90 persen. Padahal ini belum termasuk pinjaman yang dilakukan oleh lembaga bank (dan pemerintah!) dalam mata uang asing. Bila jumlah ini ditambahkan maka LDR sesungguhnya sudah menunjukkan lampur merah dengan rasio melebihi 100 persen. Dengan latar belakang ini bisa dibayangkan bila kemudian terjadi pelarian modal. Krisis likuiditasnya agaknya di depan sudah ada di depan mata.
Isu lain yang menarik dan luput selama ini adalah isu tentang coupling or decoupling antara pasar uang dan pasar barang. Pertanyaan besarnya adalah apakah krisis yang kini tengah melanda pasar uang akan berpengaruh secara nyata pada variabel-variabel riil seperti PDB, Investasi dan konsumsi rumah tangga, termasuk juga tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa ada sedikit keterpisahan (decoupling) antara kedua pasar ini di Indonesia. Segala hiruk pikuk yang terjadi di pasar uang seringkali tidak berdampak secara signifikan terhadap dinamika di sektor riil, terutama pada variabel pengangguran dan kemiskinan.
Akan tetapi, volatilitas dan fluktuasi di pasar uang yang tinggi akan lebih cepat mempengaruhi sektor riil. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter 1997/98. Suku bunga dan depresiasi Rupiah yang meroket menyebabkan terganggunya arus dana ke pasar barang. Dan sektor yang agaknya akan paling tertekan bila terjadi kemacetan lalu lintas dana adalah sektor manufaktur, diikuti tambang , jasa dan pertanian. Semua sektor ini adalah sektor pendorong pertumbuhan dan penyerap tenaga kerja terbanyak. Sehingga terganggunya sektor keuangan secara langsung akan turut memukul pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja dan pemberantasan kemiskinan.
Walaupun tidak secara langsung menghantam Indonesia, krisis yang beralwal dari subprime mortage di Amerika serikat tersebut berimbas cukup tajam di Indonesia, oleh karena itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono segera memberi arahan:
1. Semua Pihak terus memupuk rasa optimism dan saling bekerjasama, sehingga bisa tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
2. Pertumbuhan ekonomi 6% harus dipertahankan, antara lain dengan terus mencari peluang ekspor, investasi serta mengembangkan perekonomian domestic.
3. Optimalisasi APBN untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan social safety nett dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan, yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik, pangan dan BBM antara lain dengan terus mencari peluang ekspor investasi serta mengembangkan perekonomian domestic.
4. Kalangan dunia usaha harus tetap mendorong sektor riil.
5. Semua pihak agar lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis,antara lain dengan mengembangkan pasar dinegara-negara kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan Amerika Serikat.
6. Menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestikbertambah kuat.
7. Penguatan kerjasama lintas sektor antara Pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta.
8. Hindari sikap egosentris dan memandang remeh masalah.
9. Semua kalangan harus memiliki pandangan politik non partisan serta mengedepankan kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan maupun pribadi, termasuk dalam kebijakan politik.
10. Semua pihak harus melakukan komunikasi yang tepat dan baik kepada masyarakat.
Kemudian secara konkrit, Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk menangani krisis, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua undang-Undang No 23 Tentang bank Indonesia yang secara substansi berisi pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia diperkenankan apabila terjadi kesulitan keuangan suatu bank yang secara sistemik mempengaruhi krisis keuangan di Indonesia.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang No 24 Tahun 1999 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang secara substansi berisi tentang perubahan besaran penjaminan apabila terjadi penarikan besar-besran, inflasi terus menerus atau ancaman krisis
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berisi stabilitas keuangan dari ancaman krisis melalui Fasilitas Pembiayaan Darurat dan pembentukan Komite Stabilitas Keuangan.
(Sumber Bank Indonesia, INDEF dan Bursa Efek Indonesia)

Tidak ada komentar: