22 Januari 2013

KETERANGAN AHLI OLEH PEMERIKSA BPK DAN HASIL AUDIT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN

Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut membuat Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru “dikerdilkan” menjadi pulih, dengan terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan BUMD skaligus penentu jumlah kerugian negara. Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta mampu melaporkan fakta secara lengkap. Hasil Pemeriksaan BPK dalam banyak pengalaman, sering dijadikan sebagai Bukti awal dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu pembuktian dalam proses pemeriksaan BPK sangat diperlukan, sehingga bukti tersebut benar-benar valid. Bagaimana pentingnya pembuktian dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana pula ketika hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK menjadi dasar besarnya kerugian negara, Selain itu Pemeriksa BPK sangat sering diminta sebagai keterangan ahli dalam berbagai proses sidang peradilan yang memerlukan kompetensi keahlian keuangan negara. Oleh karena itu pemahaman mengenai definisi Keterangan ahli dan Hasil Audit sebagai alat bukti dalam peradilan akan kita bahas dalam ulasan berikut: Keterangan Ahli Dalam KUHAP, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti untuk mendapatkan kebenaran materiil. bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab pada momen tersebut, hak asasi manusia dipertaruhkan. Oleh karena itulah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil yang diperoleh melalui alat-alat bukti. Dalam menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada, Indonesia menganut sistem pembuktian yang sama dengan Belanda dan negara negara Eropa Kontinental yang lainnya, yaitu hakim dengan keyakinannya sendiri yang menilai alat bukti yang diajukan. Dalam Ilmu hukum, teori pembuktian bisa direpresentasikan dalam 4 golongan sebagai berikut: a. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) atau teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), yaitu pembuktian yang hanya didasarkan hanya kepada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime), yaitu pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hati nurani hakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. c. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (la conviciton raisonnee), dimana hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian, dengan disertai suatu simpulan berlandaskan peraturanperaturan pembuktian tertentu. d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) yaitu pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh oleh alat-alat bukti tersebut. Teori ini dianut KUHAP di Indonesia. Representasi teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia terdapat pada Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk, dan e. Keterangan terdakwa Penempatan keterangan ahli pada urutan kedua setelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undang yang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum, karena pembuat undang-undang menyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian. Dengan demikian, fungsi ahli dalam pembuktian perkara pidana memang sudah dianggap signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan meminta keterangan ahli adalah membuat terang tindak pidana. Dengan mengaitkannya dengan Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 186 KUHAP dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli yang bernilai sebagai alat bukti haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. b. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Pasal 120 KUHAP juga menegaskan pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian memiliki syarat berikut: a. Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.Bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya, berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya”. b. Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau “vrij bewijskracht”. Artinya, nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan tidak melekat kepadanya. Hakim pun tidak terikat untuk menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud dan bebas menilainya. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, keterangan ahli juga harus ditunjang dengan alat bukti lainnya. Hasil Audit sebagai alat bukti Menurut Undang- Undang No 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara definisi Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sesuai definisi tersebut maka penafsiran yang luas atas hasil pemeriksaan adalah hasil pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan laporan keuangan suatu entitas oleh BPK, dimana pemeriksaan dilakukan atas dokumen dan bukti-bukti yang mendukung pengungkapan dalam laporan keuangan. Dari pemeriksaan tersebut BPK akan mengeluarkan pendapat pemeriksaan mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dari bentuk pembuktian, hasil pemeriksaan adalah suatu alat bukti yang termasuk alat bukti tulisan atau surat. Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi dua, yaitu: surat yang diberi tandatangan yang memuat suatu hak atau perikatan yang sejak semula ditujukan untuk pembuktian (akta) dan surat atau catatan yang tidak termasuk dalam golongan akta (disebut sebagai non akta). Akta sendiri dibagi menjadi dua (2) yaitu: akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu oleh penguasa yang mencatat apa yang dimintakan oleh pihak yang berkepentingan (disebut sebagai akta otentik) dan akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dri pejabat (disebut sebagai akta dibawah tangan). Masing-masing akta, non akta, akta otentik dan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang berbeda bagi pengadilan atau hakim sebagai pihak yang akan memeriksa dan mendasarkan putusannya berdasar bukti-bukti tersebut. Tidak ada satu rumusan untuk menggolongkan hasil pemeriksaan BPK termasuk dalam bukti tulisan atau surat yang mana. Satu pihak dapat menganggap hasil pemeriksaan sebagai akta otentik dengan alasan bahwa hasil pemeriksaan adalah suatu pernyataan yang dimintakan oleh auditee (pihak yang berwenang) dan kemudian diberikan oleh pejabat yang berwenang (BPK), maka pengadilan dapat menilai kekuatan pembuktiannya menjadi sah dan meyakinkan, artinya isi atau pernyataan dalam hasil pemeriksaan dan laporan keuangan tersebut diterima sebagai kebenaran, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hasil pemeriksaan juga digolongkan sebagai akta dibawah tangan dengan alasan tidak ada keterlibatan dari notaris, atau pejabat pembuat tanah lainnya. Hasil pemeriksaan mungkin juga dapat digolongkan sebagai non akta, karena hasil pemeriksaan hanya memeriksa laporan keuangan yang berisi pencatatan atau dokumentasi suatu entitas. Intinya suatu pihak dapat menafsirkan dan mengkonstruksikan suatu hasil pemeriksaan dimasukkan dalam golongan apa tergantung dari penafsiran pihak yang bersangkutan. Perlu diperhatikan, disini bahwa hasil pemeriksaan sendiri didasarkan pada laporan keuangan dan dokumen-dokumen pendukung atau catatan-catatan mengenai hal/pristiwa tersebut. Dalam melakukan pemeriksaaan, pemeriksa selain mendasarkan keterangan dari entitas, juga mendasarkan pada dokumen yang disediakan entitas. Selalu terdapat kemungkinan bahwa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan tidak merefleksikan keadaan sebenarnya, karena dokumen-dokumen tersebut bukan sumber hukum yang utama (primary source of law). Artinya laporan keuangan dan hasil pemeriksaan mendasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama. Apabila pernyataan atau isi laporan keuangan hasil pemeriksaan didasarkan pada dokumen yang bukan sumber hukum utama disajikan sebagai bukti dalam persidangan, besar kemungkinan pihak lawan akan berkeberatan dan dapat membuktikan kenyataan sebaliknya. Dalam membuktikan suatau dalil harus disertai alat bukti tulisan yang merupakan sumber hukum utama, atau dokumen utama. Hasil pemeriksaan atas laporan keuangan dapat dijadikan alat bukti sepanjang isi dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan diperoleh dari sumber hukum utama dan tidak bertentangan dengan isi dari sumber hukum utama. Menjawab pertanyaan bagaimana pengadilan memperlakukan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan sebagai bukti di pengadilan adalah bagaimana suatu pihak menafsirkan hasil pemeriksaan dan bagaimana tanggapan dari pihak entitas terhadap penafsiran pihak pemeriksa. Dalam hukum acara perdata, apabila satu pihak tidak menyanggah dalil yang diajukan pihak lain, maka pihak tersebut dianggap menerima dalil yang diajukan pihak lawan. Selanjutnya apabila suatu pihak yang ingin membuktikan suatu dalil wajib membuktikannya dengan alat bukti (dapat berupa laporan keuangan dan hasil pemeriksaan).

Tidak ada komentar: