25 November 2013

BUMN Sebagai Kekayaan Negara Yang Dipisahkan

Sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka Pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan rakyat dalam hal ini langkah pemerintah dalam pengelolaan perekonomian Negara dengan membentuk Perusahaan Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 sebagai pedoman pengelolaan Perusahaan Negara dengan Saham Negara pada Perusahaan Negara seluruhnya bersumber dari Kekayaan Negara yang dipisahkan. Dipisahkan dalam arti pengelolaan kekayaan Negara tersebut tidak dilakukan dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Negara (APBN) . Peran BUMN yang demikian besar ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan BUMN untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Belakangan bahkan cukup banyak BUMN/Perusahaan Negara yang dalam posisi sangat kritis akhirnya membebani Negara untuk mengucurkan dana segar kekayaan Negara sebagai penyertaan modal Negara ke dalam BUMN sebagai upaya penyelamatan BUMN, dari sisi jumlah, data BUMN yang di rawat oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) jumlah BUMN yang sedang dirawat inap sebanyak 11 buah. Kebijakan Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melakukan administrasi Negara untuk mengelola kekayaan Negara, Pemerintah melakukan pengaturan Administrasi kekayaan negara melalui Kementerian Keuangan. Kekayaan Negara dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Kekayaan Negara tidak dipisahkan dan Kekayaan Negara dipisahkan dengan penjabaran sebagai berikut: a. Kekayaan Negara tidak dipisahkan adalah dalam bentuk Barang Milik Negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). b. Kekayaan Negara Dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Perseoan dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainya. Untuk pengelolaan Kekayaan Negara dipisahkan dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 228 tahun 2001 dan selanjutnya menerbitkan PP nomor 64 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, kewenangan selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/Pemegang saham pada PERSEROAN/Perseroan Terbatas, Wakil Pemerintah Pada Perusahaan Umum (Perum), dan pembina keuangan pada Perusahaan Jawatan (Perjan) yang sebelumnya berada di Menteri Keuangan dialihkan kepada Menteri BUMN. Tugas Menteri Negara BUMN adalah membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara. Menteri Negara BUMN menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan pemerintah dibidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan efesiensi, privatisasi dan restrukturisasi BUMN; b. Pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana program, pemantauan, analisis dan evaluasi dibidang pembinaan BUMN; c. Penyampaian laporan hasi evaluasi, saran dan pertimbangan dibidang pembinaan BUMN kepada Presiden. Badan Usaha Milik Negara dan Perkembangannya Eksistensi BUMN dimulai dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh disertai krisis konomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat sinyal bahwa pemerintahan parlementer akan membawa Indonesia kedalam keterpurukan. Gerakan menuju ke Pemerintahan Presidensial sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pun dimulai. Bulan November 1957, Presiden Soekarno mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia karena PBB gagal mengeluarkan resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk masalah Irian Barat. Gerakan ini menjadi titik awal dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan dari Belanda ke Indonesia, 90% produksi perkebunan beralih ke tangan Indonesia. Kemudian, Perusahaan-perusahaan Negara yang secara spesifik dikenal sebagai BUMN membentuk konglomerasi bisnis paling raksasa dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem ekonomi Indonesia. BUMN-BUMN bergerak dalam berbagai bisnis dari yang paling sederhana sampai yang sangat rumit seperti industri pesawat terbang. Sebagaian BUMN terpusat pada pelayanan publik seperti Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Perbankan dan Jasa Keuangan, Jasa Kontruksi dan Jasa Lainnya, Logistik dan Prasarana Angkutan, Pertambangan, Telekomunikasi dan Industri strategis. Perspektif Kekayaan BUMN Membicarakan sudut pandang hukum terhadap kekayaan Badan Usaha Milik Negara sebagai kekayaan Negara mewajibkan kita untuk melihat dan memahami norma dan peraturan hukum terkait yang ada. Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan,menuntut dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungan yang satu sama lainnya. Untuk bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, barang tentu ia harus mempunyai kekuatan memaksa. Paksaan ini tertuju kepada para anggota masyarakat dengan tujuan mematuhinya sedangkan hukum adalah Norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan. Yang menjadi permasalahan dalam konstalasi hukum Indonesia terjadi penafsiran yang berbeda terhadap BUMN, hal tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang mengatur dan perbedaan kepentingan terutama bila dikaitkan bahwa BUMN adalah berupa Perseroaan Terbatas yang dikaitkan dengan Hukum Privat sehingga selain mengacu terhadap Undang-Undang no 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga tunduk pada Undang-Undang No 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang no 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pandangan bahwa BUMN adalah ranah hukum privat, yang artinya kekayaan negara hanya merupakan penyertaan modal berpendapat Suatu Badan Hukum yang dibentuk Pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan Negara menjadi kekayaan Badan Hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata. Demikian pula kedudukan hukum pejabat pemerintah yang duduk sebagai Pemegang Saham atau komisaris sama atau setara dengan kedudukan hukum masyarakat biasa atau Pemegang Saham swasta lainnya. Imunitas publiknya sebagai penguasa tidak berlaku lagi dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat meskipun perusahaan tersebut seratus persen milik Negara, Penyertaan modal negara di sebuah korporasi statusnya adalah penyertaan biasa dengan status hukum yang sama dengan penyertaan oleh pihak partikelir lain (swasta). Pandangan tersebut diperkuat dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dimana Persero memiliki tujuan utama mengejar keuntungan dan Perum bertujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Oleh karenanya menjadikan tujuan Badan Usaha Milik Negara tersebut tidak ubahnya atau relatif sama sebagaimana perseroan terbatas swasta lainnya dan pengelolaannya didasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, jika terjadi kerugian di suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian yang disebut sebagai risiko bisnis sebagai badan hukum privat. Pandangan tersebut menurut hemat penulis, kurang tepat, harus dipahami bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjadi instrumen penting dari kebijakan sosial dan ekonomi dalam ekonomi campuran industri dan di negara-negara berkembang. Penggunaan BUMN sebagai instrumen kebijakan publik dan bentrokan yang terjadi antara perusahaan-perusahaan BUMN dan perusahaan swasta di satu sisi dan pemerintah dan pengendali lainnya di sisi lain, yang menyebabkan keprihatinan, sehingga transparansi publik bukan hanya dari angka-angka keuangan tentu sangat diharapkan oleh publik. Banyak cara yang dilakukan pengurus Badan Usaha Milik Negara dimasa lampau untuk memupuk atau menyelematkan kekayaan yang dimilikinya. Praktik-Pratik bisnis yang lazim dilakukan antara lain, penjualan produk/jasa, pembelian barang persedian atau bahan baku, penarikan hutang dan pengaggunan aktiva tetap yang dimilikinya, kerjasama usaha, Penghapusbukuan dan pemindahtanganan Aktiva, restrukturisasi dan privatisasi usaha. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas maka oleh Pemerintah diterbitkan paket Undang-Undang Keuangan Negara dalam rangka pengamanan atas kekayaan Negara yang telah ditempatkan dalam BUMN yaitu berupa Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang no 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara. Adapun tujuan dari dilakukan penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Optimalisasi Barang Milik Negara; b. Mendirikan, mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, dan Badan Hukum lainnya Sedangkan pertimbangan dilakukannya penyertaan modal Negara dari Pemerintah Republik Indonesia kepada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya yaitu: a. Dalam rangka pendirian dan/atau mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; b. Dalam rangka mendukung BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya untuk menjalankan tugas Kewajiban Pelayanan Umum yang diberikan oleh Pemerintah; c. Yang diusulkan merupakan proyek selesai kementerian/lembaga yang dari awal pengadaannya telah diprogramkan untuk diserahkan pengelolaannya pada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya; d. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan tersebut menjadi lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya Menurut Pasal 1 Ayat (1) Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam Pasal 2 Ayat huruf(g) dinyatakan bahwa kekayaan negara yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) di atas adalah Kekayaan negara/kekayaan daerah adalah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Undang-Undang no 15 Tahun 2004 Tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara secara jelas mennyatakan bahwa kewenangan pemeriksaan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara ada pada Badan Pemeriksa Keuangan, Secara hakiki, sebab kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, maka semua BUMN harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam buku Ekonomi Publik, Leif Johansen disebutkan bahwa semua SOE (State Owned Enterprises) merupakan bagian ekonomi negara, berarti bila Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pemeriksa yang ditunjuk Negara di Indonesia, maka SOE tunduk pada aturan itu. UU Keuangan Negara No 17 tahun 2003 menegaskan itu, dan itu adalah tuntutan dari UUD 1945, di mana keberadaannya dicantumkan dalam pasal 23. Dalam Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 pasal 7 disebut: "Tugas dan Usaha Bank diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan perkembangan ekonomi nasional dengan jalan melakukan usaha bank umum dengan mengutamakan sektor industri". Di sini sebenarnya ada pertentangan internal, sebab Perseroan Terbatas yang merupakan lembaga yang umumnya untuk kepentingan sektor swasta, tidak mengacu pada "perbaikan ekonomi rakyat" tetapi untuk kepentingan para pemodal, tanpa ada kewajibam untuk kepentingan ekonomi rakyat. Bila Undang-Undang No 17 tahun 1968 Tentang Bank BNI 46 menyatakan untuk ekonomi rakyat, maka berarti acuan konstitusi untuk itu adalah "Demokrasi Ekonomi" yang didefenisikan "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat". Kondisi tersebut tidak sesuai dengan bentuk Perseroan Terbatas. Satu hal perlu diperhatikan tentang situasi SOE’s di dunia. Di Singapura 60 % Produk Domestik Bruto berasal dari SOE, demikian pula di Taiwan, Korea Selatan, Perancis, dan banyak negara lain. Jadi SOE tidak harus menjadi lembaga swasta untuk mampu berkiprah ekonomi yang prima. Teori privatisasi dari Sappington-Stiglitz menyatakan bahwa swasta tidak merupakan jaminan keberhasilan perusahaan. Kasus lama Enron di AS lalu, berbagai penipuan publik di AS sekitar krisis 2008 adalah buktinya. Banyak yang tidak diketahui publik di Indonesia, bahwa sederet perusahaan pelayan publik di negeri Paman Sam yang tadinya diprivatisasi ternyata kemudian dinasionalisasi, sebab kinerjanya tidak sesuai dengan harapan, dan biaya-biayanya malah jauh lebih tinggi dari yang biasa dilakukan oleh lembaga publik. Berarti SOE tidak selalu mediokre dibanding usaha swasta, dan bila perusahaan tersebut adalah BUMN dengan kekayaan negara yang dipisahkan maka logika dan hakiki masalahnya, harus dibawah pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan selaku Auditor negara hal itu juga berarti kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urus terhadap harta BUMN. Juga memberikan prioritas pengembalian tagihan dalam hal ada pailit, karena dalam undang-undang kepailitan, hak negara mendapat prioritas terlebih dahulu dalam pelunasan dari boedel pailit. Sedangkan dari sisi Pengamanan Keuangan Negara semakin nyata dengan diterbitkannya UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 yang menyatakan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dst.. mengandung arti bahwa UU TPK memiliki substansi yang memandang kerugian dari sisi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kondisi tersebut semakin dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review UU no 31 Jo UU no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan putusan MK no 003/PUU-PU/2006 tanggal 24 Juli 2006 yang menyatakan: “ Menurut Mahkamah hal demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana pemohon, karena keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana”. Sehingga menurut penulis, amat sangat melukai perasaan rakyat Indonesia apabila BUMN selaku perusahaan negara yang tujuannya sebagai kepanjangan peran negara sesuai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, tanggung jawab pengelolaannya dipisahkan dari keuangan negara.

Tidak ada komentar: